2. Tidak Masalah

293 7 0
                                    

~Langit yang awalnya cerah tiba-tiba menjadi mendung. Tiap orang pasti pernah berada pada titik terendah. Tak masalah jika langit menghujanimu.

***

Membuka obrolan grup whatsapp SD, lagi-lagi membicarakan dia yang sebentar lagi menikah. Akad nikah dilakasanakan seminggu setelah hari Raya Idul Fitri. Teman-teman ramai adu mulut online, aku lebih memilih meninggalkan obrolan. Bukan karena aku tidak senang dengan kabar bahagia itu. Terkadang, hal klise ‘jika orang yang kita sayangi bahagia kita akan bahagia pula’ tidak berlaku sepenuhnya, termasuk aku.

Bosan, aku beralih menuju permainan teka-teki silang yang kuunduh dini hari tadi. Rasanya lebih menyenangkan daripada berdiam diri memikirkan banyak masalah yang menghampiri. Masalah itu bukan untuk dipikirkan tetapi diselesaikan.

“Kenapa murung, telat makan sahur?” ujar Reya, teman kampusku yang saat ini numpang wifi di kosku.

“Sahur, kok.”

“Lalu kenapa wajahnya kusut gitu?”

Malas, aku tidak ingin menanggapi rasa penasarannya lagi. Aku segera memberikan ponsel yang menampilkan obrolan teman-teman lamaku.

“Oh ini, kamu ‘kan sudah cerita kemarin. Lalu apa masalahnya denganmu?”

Aku mengambil paksa ponselku dengan memamerkan wajah kesal.

“Tentu menjadi  masalah besar untukku. Keluargaku ‘kan tahu jika dulu aku sempat menyukainya. Rumahnya itu tepat di depan rumah nenek, empat belas tahun masa kecilku kuhabiskan di rumah Nenek. Aku kembali ke rumah Ayah setelah nenek meninggal. Saat berita pernikahanya terdengar keluargaku, mereka menghujaniku pertanyaan- pertanyaan yang selama ini kuhindari, pernikahan.”

Reya hanya diam mendengarkan ceritaku yang  panjang dan lebar.

“Tadi pagi mereka bersahutan-sahutan di telepon, menanyakan hal-hal yang menakutkan, skripsi dan pernikahan. Dari kedelapan cucu nenek memang hanya aku yang belum pernah menyebutkan nama seorang laki-laki di depan keluarga. Pandangan keluargaku itu masih kolot, ‘yang lebih tua yang harus menikah dulu’. Padahal kita memiliki masa masing-masing yang tidak bisa hanya didasarkan dengan faktor ‘usia’.”

Aku mengakhiri ceritaku dengan helaan napas panjang.

"Hahahaha!”

"Apa aku sedang membuat lelucon?" sarkasku yang merasa tidak terima, aku sedang menceritakan perkara malah dia tertawakan.

"Langit yang awalnya cerah tiba-tiba menjadi mendung. Lalu kita sebagai penikmat juga tidak dilarang serupa. Dunia juga tidak akan berakhir."

"Hah?"

"Sebuah fenomena. Tiap orang pasti pernah berada pada titik terendah. Tak masalah jika langit menghujanimu."

***

Oleh : Supriyanti (56)

Semarang, 08 Mei 2019

Episode RamadhanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang