Jangan pernah mengatakan maaf sekali pun, walaupun aku pernah tak tenang dengan beberapa pikiranmu. Rasa bersalah membuat kita jauh seperti pintu yang luarannya dipasang teralis-aman tapi tak terjamah di dalamnya. AKU TIDAK MAU!
~Riyant***
Lia mengayunkan lagi ayunannya yang sudah melambat. Senyumnya yang kemarin merekah kini memudar begitu saja bersamaan kepergian Alan dan Dea.
Lia menjatuhkan cincin yang dimainkannya tadi. Pun cincin itu sempat diremasnya. Dia ingin marah tapi tak sampai hati.
Cinta—cara terbaik menyebut luka sendiri. Ketika ditinggal cinta haruslah mencari cinta yang lain.
"Lia!" panggil Dea yang rupanya sudah kembali setelah mengantar kepulangan Alan.
Lia menerawang wajahnya dengan datar. Marah dan kesal berasa tercampur menjadi satu. Tapi entahlah ada hal asing yang membuatnya tak tega menumpahkan sumpah serapahnya kepada sepupunya itu.
"Lia. Maafkan aku. Aku tidak bermaksud mengambil kepunyaanmu."
"Dia bukan kepunyaanku. Lagipula dia bukan barang. Bahkan kalian tidak menolak kesepakatan itu. Tak masalah, aku baik-baik saja."
"Maaf, Lia," kata Dea sambil menundukkan kepalanya.
"Wasiat orang tua 'kan harus tetap dilaksanakan," ujar Lia dengan tersenyum. Dia menyembunyikan kemarahannya dengan meremas pegangan ayunan tanpa diketahui Dea.
"Jangan pernah mengatakan maaf sekali pun, walaupun beberapa keputusan membuatku kesal dan marah. Bagaimanapun, kamu tetap adikku. Rasa bersalah membuat kita jauh, aku tidak mau itu.
Lia dan Dea—keduanya—menatap langit bersamaan dengan kepala yang dipenuhi perasaan masing-masing.
***
Supriyanti (56)
KAMU SEDANG MEMBACA
Episode Ramadhan
AcakEpisode ramadhan, kumpulan pesan yang ingin disampaikan penulis. Tulisan ini merupakan project ksi selama ramadhan. Note : pesan harus disampaikan, bukan disimpan rapat ketat. Happy Reading.