21. Menikahi Pelangi

38 2 0
                                    

Badai, cukup aku saja yang menerima. Orang lain tidak berhak menanggungnya.
~Riyant

***

Rheina menatap kesal ke arah tanganku yang hanya mengaduk-aduk mie yang sejam lalu kupesan.

"Mau kamu aduk sampai kapan? Sampai jadi bubur?"

"Aku tidak berselera makan," kudorong piringku menjauh. Aku belum memakannya bahkan satu suap pun.

"Jika tidak ingin makan, kenapa pesan? 'Kan mubazir."

"Kalau aku tidak pesan, kamu bisa menjamin kamu tidak akan ngomel?"
Dia bungkam begitu aku mengeluarkan kalimat andalanku. Dia memang tidak suka jika aku tidak memesan makanan ketika kita di tempat makan.

"Katamu, keluarga jauhmu berkumpul di rumah Kakek, kenapa mukamu kusut?"

Aku sebenarnya malas untuk bercerita kepada siapa pun. Tapi sepertinya manusia di depanku ini tidak akan berhenti mencari tahu.

"Beberapa sepupuku membawa pasangan masing-masing, katanya mereka ingin menikah."

"Kamu 'kan tahu aku anak tertua. Malah aku tidak ingin berpikir ke arah sana. Kalau menikah, ya menikah saja."

"Jadi, mereka marah besar?" ucapnya yang hanya kujawab dengan anggukan kepala.

"Kau, menikahlah."

Aku menatap horor Rheina, "Kamu 'kan sudah tahu masalahku. Untuk mencari pelangi kita harus merasakan setidaknya hujan gerimis. Tapi di hidupku hanya ada badai, mana mungkin ada pelangi. Rasanya aku lebih memilih 'menikahi pelangi' daripada menikah dengan seorang laki-laki."

Rheina menghela napas pasrah melihatku yang sudah menyerah. Aku hanya tidak ingin menerima payung dari siapa pun, karena akan terhempas dan akhirnya kita sama-sama terjebak dalam badai. Bukankah lebih baik jika aku saja yang terjebak?

***

Supriyanti (56)

Episode RamadhanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang