Part 4

5.8K 311 23
                                    

#CT (Cinta Terlarang)

Part 4

Saat berusaha membuka kontak WhatsApp-nya, terpampang jelas foto balita putih dengan dua gigi yang berbaris di rahang bawahnya. Siapakah anak ini? Masa iya anaknya, padahal pas kenalan gerak tubuh dan ucapan seolah mengatakan ia adalah seorang lajang.

Penasaran, aku mengklik ikon chat dan mengirimkannya pesan singkat.

[ Malam, Mas Dika. ]

Tak sampai semenit, ia pun membalas.

[ Eh, Mbak Resya. Akhirnya, setelah sekian lama, ada juga cewek yang chat saya. ]

[ Emang biasanya nggak ada, Mas? ]

[ Nggak ada, di sosial media lain juga gitu. Baru liat foto profil pada kabur. Gimana mau ajak kenalan? ]

Aku tersenyum kecil. Kami pun larut dalam asyiknya berbalas chat nggak jelas. Terkadang, bahagia itu sederhana. Saling berbalas emoji melet di chat saja sudah membuat hati berbunga.

Di akhir chat, kami pun janjian untuk jalan bareng saat weekend. Entah mengapa, begitu mudah ia melunakkan hati yang telah membatu ini. Meski belum terisi cinta, tapi kenyamanan mulai menjalar di sekujur saraf.

Hampir setiap saat kami berbalas chat, tak kenal waktu siang dan malam. Darinya, aku belajar banyak tentang mengelola stres. Maklum, semenjak menjanda, hampir setiap hari aku merasa uring-uringan. Hidupku pun lebih berwarna, penampilan pun berubah. Rambut kuncir kuda khas Resya yang selalu menemani hari-hari kini berganti dengan helaian mahkota legam yang terurai hingga punggung. Baju kemeja formal pun berganti dengan dress kasual cantik ala anak muda masa kini. Ya ... dua puluh lima tahun itu muda, kan?

🍀🍀🍀

"Oke, Resya ... sudah cantik. Saatnya pergi jalan."

Dengan menuntun Echa, aku siap mengisi weekend dengan Mas Dika. Sebuah tunik berwarna kuning yang memanjang hingga ke lutut, dipadu dengan belt besar di pinggang, membuatku tampak terlihat lebih berisi. Kami janjian bertemu di depan gang, bukan tanpa alasan, aku hanya tak ingin para tetangga berpikiran macam-macam.

Lima meter jalan ke gang terasa begitu jauh, sebab kumpulan anak muda yang berjongkok di sisi jalan seperti haus akan wanita. Aku yang melenggang tak lepas dari godaan mereka.

"Eh, janda mantap nih. Macan, mama cantik. Mau ke mana?"

Tak gubris ucapannya hingga salah seorang dari mereka mengangkat sedikit tunik yang kukenakan, hingga terpampang sedikit paha yang terbalut celana pendek.

Aku segera menggendong Echa, lalu berlari menuju gang. Mereka tak tampak mengejar, mungkin karena hari masih terang. Di ujung jalan, tampak Mas Dika telah duduk di atas motor gedenya dengan kaus hitam yang mencetak jelas tubuh kekarnya dan celana jeans biru. Begitu tampan dan menawan.

"Mas Dika ...!" Girang aku menyambut tangannya dengan sedikit lambaian tangan. Namun, bukannya menyapaku, ia justru langsung menggendong Echa yang saat itu berdiri tepat di sebelahku.

"Ayah ...." Ya, Echa telah terbiasa memanggilnya ayah, meski beberapa kali kuingatkan tapi ia masih terus mengulanginya.

"Echa, jalan-jalan sama ayah mau?"

"Mauu ...."

Kesal karena merasa ia begitu cuek, aku pun cemberut dan melipat tangan, serta menghentakkan kaki kanan beberapa kali ke tanah. Melihat wanitanya ngambek, Mas Dika segera menatapku. Kedua sudut bibirnya tertarik, ia tersenyum indah kala melihat wanita di hadapannya masih bermuka masam.

"Aduh!" pekikku saat cuping hidung ini ditariknya.

"Ngambek aja ini emak-emak, malu sama anak. Kenapa, Mbak Res?"

Cinta TerlarangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang