Part 2 Flashback

7.5K 392 20
                                        

Sulit rasanya membohongi diri, jika di dalam lubuk hati--masih terukir nama dan kisah indah yang telah kami lalui. Dengan hati yang masih tak keruan, aku melangkah gontai menuju warung soto Lamongan yang terletak di seberang kantor. Tak sampai lima menit, soto Lamongan dan seporsi nasi putih terhidang di meja. Ah, biasanya ini adalah menu favoritku, tapi tidak dengan sekarang. Mengingat bagaimana Raden bercengkerama mesra dengan sang kekasih membuat nafsu makanku hilang seketika.

Perlahan, anganku melayang ke masa-masa di mana aku dan Raden berjuang untuk mengesahkan hubungan kami. Menjalani masa pacaran di luar batas, hingga aku mengandung benihnya. Bahkan, segala cara kulakukan untuk melenyapkan janin ini. Untungnya, Allah masih menolong, Raden bersedia tanggung jawab. Kami menikah saat Echa lahir, dan setelah itu Raden tetap tinggal di rumahnya, hanya satu sampai dua kali seminggu ia berkunjung.

Kebahagiaan tak bertahan lama, hingga akhirnya--menginjak usia Echa satu tahun, Raden benar-benar tak pernah mengunjungi kami lagi. Aku ditinggalkan, tanpa kejelasan status. Muak menahan derita tak bertepi. Hidup tidak jelas, berstatus istri tapi tak mendapat nafkah lahir maupun batin. Akhirnya, saat usia putri kami menginjak tiga tahun, aku menggungat cerai dirinya dengan alasan percuma--tak ada lagi nafkah lahir dan batin yang kuterima.

"Mbak, Res." Seseorang menepuk bahuku pelan--hingga membuat lamunanku buyar seketika. Lelaki ini lagi.

"Boleh duduk sini?" tanyanya lagi. Aku sedikit menggeser duduk untuk memberikannya sedikit tempat.

"Hmm ...."

"Maaf yang tadi, Mbak. Saya nggak paham orang tadi lagi berniat kurang ajar sama Mbak. Saya kira kalian pacaran."

"Hmm ...."

Terlanjur kesal akibat insiden yang terjadi belum lama. Di mana lelaki ini malah menyangka aku sedang melakukan perbuatan yang tak senonoh di ruangan tadi.

"Maaf juga untuk tadi pagi, sudah nabrak belakang motor Mbak."

Banyak bicara rupanya lelaki ini, benar-benar deh. Setelah tegukan terakhir, aku menatapnya picik dengan sudut bibir yang sedikit tertarik.

"Memang kamu ini, hari pertama ketemu aja sudah buat masalah."

Ia nyengir, dan terlihat amat menyebalkan. Selama di warung soto, ia sama sekali tak memesan makanan. Hanya duduk diam dan memperhatikanku yang sedang makan.

"Nggak makan?" tanyaku karena melihat ia yang tak kunjung memesan makan.

"Nggak suka makan."

Jawaban aneh! Suka-suka dia aja deh. Aku masih terus menikmati soto Lamongan ini, sesekali menatap lelaki di sebelah yang ternyata berperawakan amat manis. Tatapan mata yang begitu sendu, tapi mampu membius siapa pun yang melihatnya. Rahang berbentuk persegi yang kokoh, serta cambang yang memanjang hingga ke janggut. Sempurna.

"Mbak Res udah lama kerja di sana?"

"Lumayan, sekitar dua tahun lah. Kamu sendiri udah lama mimpin cabang di sana?"

"Kurang lebih setahun, Mbak. Sejak ...." Wajah lelaki itu seketika merenung, binar matanya memudar tak seperti tadi.

"Sejak apa, Mas?"

"Nggak jadi, Mbak.

Aku yang memang tak merasa penasaran, kembali melanjutkan makan siang.

"Mbak, minta nomor hape boleh?"

"Emoh!"

Setelah jam istirahat habis, aku berniat kembali ke kantor untuk melaksanakan aktivitas selanjutnya. Sedangkan, Mas Dika balik ke cabang untuk kembali mengelola bubur organik di sana. Belum ada yang spesial dari perkenalan tadi. Entah mengapa--sejak Raden meninggalkanku mentah-mentah, rasanya trauma untuk kembali memulai suatu hubungan.

Cinta TerlarangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang