Part 10

6.1K 405 17
                                    

"Ndhuk," sapa Ibu. Beliau mendekat, mengusap bahu ini perlahan.

"Ya, Bu."

"Bagaimana keadaan Echa?"

"Besok CT scan, Bu. Ya setelah itu kita akan tau apa penyebab kejangnya. Semoga sih kejang biasa."

"Kalau hatimu ... bagaimana?"

Aku tersenyum getir. Sebisa mungkin tak menampakkan apa pun beban yang kurasa saat ini. Ibu terlalu lelah ikut menanggung semua penderitaan, terlebih saat aku terlibat konflik dengan Raden hingga kini.

"Resya akan selalu baik-baik saja, Bu. Asal ibu selalu dampingi Resya." Tubuh yang belum terlalu renta itu kupeluk erat. Hangat menjalar, merasuk dalam jiwa. Membangkitkan kekuatan yang bersumber dari kasih sayang Ibu terkasih.

Aku memejamkan mata, berusaha menampik rasa terhadap Dika yang sebetulnya mulai membuncah. Tak ingin jatuh ke lubang yang sama. Asmara terlarang hanyalah akan menghancurkan kehidupan. Seiring rasa yang mulai pudar dari hatiku untuk Dika, ingatan pun melayang pada masa di mana Dika sedang gencar mendekatiku.

🍃🍃🍃

Malam itu, cuaca sangat tidak bersahabat. Langit gelap tanpa bintang. Gemuruh bersahutan. Cahaya berkelebat dengan cepat di langit tampak menakutkan.

Aku mendesah kesal, terlebih saat melihat jam tangan telah menunjukkan pukul 22.30 WIB. Bagaimana bisa pulang kalau hujan masih tak kunjung reda. Jalanan pun bisa dikatakan tergenang oleh air hujan. Ah, kacau. Masih trauma dengan kecelakaan tahun lalu. Di mana ban motorku menghantam lubang di jalan yang saat itu tergenang air, tubuhku terpental hingga dada membentur aspal. Sesak. Sejak itu, aku tak berani mengendarai motor jika jalanan masih tergenang air.

"Mbak Res--" sapa seseorang yang telah berdiri di hadapanku dengan memegang payung.

"Mas Dika?"

"Iya, saya Dika. Benar feeling saya. Mbak pasti belum pulang. Kebetulan hari ini saya bawa mobil. Mbak pulang dengan saya aja, biar motor ditinggal di kantor. Kasihan Echa di rumah nunggu bundanya."

Ah, iya. Aku jadi ingat Echa. Dia nggak pernah bisa tidur kalau punggungnya belun diusap sama bundanya.

"Oke, Mas."

Mas Dika berjalan mendekat, kemudian mengajakku berpayung bersama. Ada getar rasa yang tak mampu diungkap dengan kata saat lengan kami bersentuhan. Seperti ada gejolak tertahan, entah karena apa. Mungkin karena wajah rupawan dan tubuh atletisnya, atau ... tak perlu kupikirkan rasanya.

"Ayo, Mbak."

"Aku baru tau kalau kamu punya mobil, selama ini motoran terus."

"Hehe, memang harus bilang-bilang?"

Menghabiskan perjalan malam dengan seorang Resya Andika. Aku berhasil menemukan kenyamanan yang telah hilang setelah berpisah dengan Raden. Mas Dika sosok yang humoris, tapi juga romantis. Kuakui, ia amat menyukai sentuhan, terlihat dari tangan yang tak berhenti mengusap jemariku.

"Saya bangga bisa kenal Mbak."

"Kenapa?"

"Seorang single parent yang tak pernah mengeluh."

"Ah, memang kamu tau kalau aku ini nggak pernah ngeluh?"

Ia terseyum, dengan tangan yang masih menggenggam jemariku. Nyaman kurasa. Entah cuaca dingin malam di luar, atau volume AC mobil yang memang kecil. Membuat jemari ini kaku dan dingin. Dingin yang aneh, menjalar dari ujung jari hingga sekujur tubuh. Ah, tidak! Ini grogi.

"Mbak Res cantik."

"Bohong aja kamu."

"Sumpah."

Cinta TerlarangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang