The Secret Wedding - 3

119K 4.8K 55
                                    

Ilona mengenakan kemeja biru lengan panjang dengan rok bahan crepe motif bunga tulip. Dia memberi sentuhan manis dengan sabuk kecil warna cokelat di pinggangnya. Ibu mertuanya menyukai gaya klasik seperti ini. Dan Ilona punya kewajiban menyenangkan Ibu mertuanya itu. Sejujurnya, dia sangat membenci Mamah Erick—Nyonya Amarta. Baginya, Amarta mirip tokoh antagonis di film-film drama. Dia bersikap layaknya seorang Ratu. Terlalu sok elegan. Terkadang, Ilona merasa geli mendengar dia berbicara dengan nada lembut yang dibuat-buat. Agaknya Amarta selalu melatih gaya bicaranya. Sayang, bagi Ilona gaya bicara Amarta begitu memuakan.

"Apa perkembangan hubungan kalian sekarang? Apakah kalian sudah saling mendambakan satu sama lain?" pertanyaan itu diluncurkan bibir yang dilapisi gincu warna merah gelap keunguan milik Amarta setelah dia selesai makan.

"Mah," tegur Erick lembut.

"Kenapa? Mamah tahu kalau kalian tidak saling mencintai karena kalian menikah karena perjodohan ini kan? Tolonglah untuk memulai hidup rumah tangga kalian dengan cinta." ada kenaikan nada di dalam suara Amarta. Dia mengalihkan pandangan pada Ilona. "Mamah sudah menuruti keinginan Ilona agar tidak ada yang tahu soal pernikahan kalian." Dia kembali menatap putranya. "Jadi, Mamah mohon agar kamu dan Ilona menuruti keinginan Mamah. Mamah hanya ingin menimang cucu. Bermain dengan cucu, mengajarinya banyak hal." dia menghela napas lelah. "Kalau saja papahmu masih ada, Rick. Mamah tidak akan merasa sendiri begini." Dia kembali menatap Ilona yang sedari tadi sedikit menundukkan wajahnya. "Kalau saja Ilona mau tinggal di sini." Amarta kembali menatap putranya.

"Mah, aku dan Ilona sudah saling mencintai. Mamah tak perlu mengkhawatirkan apa pun. Mamah hanya perlu menunggu kabar kehamilan Ilona, Mah." Erick mencoba menenangkan mamahnya. Amarta tahu kalau putranya itu sangat menyayanginya. Dia suka membuat Erick merasa bersalah. Dia suka sekali menyuruh dan memerintah Erick demi kepuasannya sendiri.

Ilona menatap Erick yang balas menatapnya. Dia benci berada di antara drama ibu dan anak itu. Amarta selalu terlihat baik, suci dan elegan di depan orang lain. Tapi di depan putra dan menantunya dia mengeluarkan semua bisanya.

Ilona ingat bahwa Amarta tak sepenuhnya menyukai Ilona. Dulu sewaktu dia belum menikah dengan Erick, Amarta sering menatapnya dengan tatapan mengejek karena dia bekerja di perusahaan calon suaminya sendiri. Meskipun Amarta selalu tampak baik pada Ilona. Ilona tak pernah menyangka bahwa bos yang dibencinya itu bakal jadi suaminya. Dan dia benar-benar terjebak dalam pernikahan yang entah bagaimana membuat dia dianggap mesin pembuat anak. Amarta selalu menyuruhnya meminum inilah-itulah agar dia cepat hamil. Luar biasa memuakan!

"Mamah tidak mau tahu, kalian harus segera memiliki anak. Mamah ingin memamerkan pewaris tunggal perusahaan kita."

"Mah, Erick saat ini masih sibuk dengan kerjaan Erick dan Ilona juga sama. Tidak mungkin dia hamil untuk saat ini saat dia masih bekerja."

"Bukannya perjanjiannya begitu?" Amarta memiringkan kepalanya menatap lekat putranya. "Ilona akan langsung resign saat dia hamil."

"Mungkin, kita perlu mengadopsi seorang anak." Ilona akhirnya berkata. Tapi dia tidak terlalu paham kenapa bibirnya mengatakan demikian.

"Apa maksudmu?" tanya Amarta dengan sebelah alis melengkung.

"Iya, mengadopsi seorang anak. Salah satu temanku mengadopsi seorang anak setelah dua tahun menikah dan belum memiliki anak. Lalu selang beberapa bulan dia hamil." dusta Ilona. Dia hanya ingin cepat pergi dari hadapan Amarta.

"Ide menarik!" seru Amarta, tersenyum.

Erick hanya menatap Ilona dengan tatapan tidak setuju.

***

"Siapa yang mengurusinya nanti?" tanya Erick saat mereka di dalam mobil. Kilatan emosi penuh amarah hadir di wajah Erick.

"Sasa." jawab Ilona enteng disertai senyum sinisnya yang membuat Erick tambah murka.

"Sinting kamu."

"Aku rasa ada yang salah dengan mamahmu, Erick."

"Dia hanya ingin menimang cucu."

Ilona menggeleng. "Kamu tidak sadar bahwa ada yang aneh dari sikap mamahmu selama ini?"

Dahi Erick mengernyit. "Apa maksudmu?" suaranya dalam.

"Mungkin suami baru akan membuat dia berpikir lebih terbuka."

"Ilona!" sungut Erick. "Mamahku sangat mencintai papahku. Kalau dia ingin menikah, dia pasti menikah sejak dulu, Ilona. Dia memilih untuk tetap setia pada papah."

"Erick, sadarlah, dia seperti itu untuk menarik perhatianmu. Aku yakin dia tidak akan menyuruhku lagi kalau dia punya pasangan."

"Berengsek!" umpat Erick sebelum menyalakan mesin mobil dengan gerakan kasar.

"Aku hanya sedih melihatmu diperlakukan seperti itu oleh mamahmu sendiri. Kamu tidak menjanjikan apa-apa pada Sasa sedangkan semua orang kantor tahu kalau kamu mencintai Sasa. Dan sekarang, mamahmu menyuruhku cepat hamil seakan aku adalah sebuah mesin. Cepat, instan dan tidak repot."

"Kapan kita mencari anak adopsi?" tanya Erick tanpa menatap Ilona. Dia sedang tidak berselera bertengkar dengan Ilona. Baginya, sekarang adalah membahagiakan mamahnya. Tak peduli bahwa tidak mungkin Ilona hamil hanya dengan mengadopsi seorang anak tanpa adanya sentuhan untuk Ilona.

Ya, ini untuk sementara. Kedepannya biar mereka berpikir kembali. Tapi kalau Amarta terus merengek meminta cucu, mau tidak mau dia akan melakukannya. Termasuk menyentuh Ilona kalau memang harus begitu. Dan Sasa, entahlah. Yang jelas wanita itu masih tinggal di seluruh ruang hatinya.

"Minggu depan." jawab Ilona. "Aku ingin anak perempuan usia 7-8 tahun." kata Ilona tanpa menatap Erick.

"Anak laki-laki lebih simple. Aku tidak mau mengurusi anak perempuan yang rewel."

"Aku mau anak perempuan, Erick." Ilona memberi penekanan pada setiap patah katanya.

"Terserahlah." Erick pasrah.

Wanita memang rumit. Tidak ibunya tidak Ilona, dua-duanya memusingkannya. Dan dia benci saat harus mengalah pada Ilona. Sangat benci.

***

Secret Wedding [Complited√]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang