32. In Between

3.4K 440 28
                                    

Warna putih langit-langit rumah sakit, itu yang pertama kali gue lihat ketika membuka mata. Hanya ada gue seorang diri di ruangan ini. Di samping tempat tidur gue ada sebuah kursi dengan sebuah jaket kulit milik suami gue tersampir di sandarannya. Sprei di samping gue sedikit kusut, pertanda ada yang menjaga gue selama gue nggak sadar. Satu demi satu ingatan gue kembali, alasan kenapa gue bisa ada di sini. 

Sekali lagi memori itu berputar, terus tanpa henti di dalam kepala gue. Memori yang susah payah gue coba hilangkan. Memori yang harusnya tak muncul lagi. Enggak.. gue nggak bisa lama-lama di sini. Dengan sekali tarik gue lepas jarum infus di lengan sebelah kanan gue. Ada sedikit darah mengalir namun tidak gue hiraukan. Setelah beranjak keluar dari selimut, gue berjalan menuju pintu masuk. Lalu lalang orang yang berjalan mondar-mandir membanjiri lorong rumah sakit ini. Dan dari sekian banyak orang, mata gue menangkap sosok yang sangat tidak asing berjalan ke arah kamar gue. Buru-buru gue berbalik, bersembunyi di balik dinding bercat putih di ujung selasar, jangan sampai orang itu menyadari keberadaan gue di sini. Gue belum siap berhadapan dengannya.

Sebentar lagi pasti dia menyadari kepergian gue. Itu berarti gue harus cepet-cepet angkat kaki dari tempat ini. Tanpa tujuan yang jelas, gue buru-buru keluar dari rumah sakit. Gue bukannya benci ataupun marah sama suami gue. Gue juga nggak nyalahin dia atas kecelakaan itu. Toh, semuanya udah terjadi. Yang gue pengen cuma waktu buat sendiri. Waktu buat gue bisa nerima semuanya. Dan sebelum itu, gue nggak pengen ketemu dia, gue nggak pengen ngeliat wajahnya. Karena setiap kali ada dia, gue teringat akan memori yang seharusnya gue lupakan. Memori yang begitu menyakitkan. Memori yang mampu meluluhlantakkan kehidupan gue.

Gue terus berjalan tanpa tujuan. Hanya menurut kemana langkah kaki membawa. Gue bingung harus kemana. Tak ada tempat gue pulang selain Kai. Matahari semakin lama semakin membumbung tinggi, mengganti malam dengan nuansa lembayung sang fajar. Kaki gue udah sakit, tubuh gue lemes, dan perut gue tiba-tiba terasa mual. Dengan kondisi yang seperti ini, nggak mungkin gue berjalan lebih jauh lagi. Gue nggak boleh egois, masih ada bayi di perut gue yang harus gue jaga. Dan tibalah gue di depan pintu bercat cokelat tua ini. Tak lama setelah gue bunyikan bel, pintu itu terbuka.

"Kak Krystal?" ucap wanita itu terkejut mendapati gue berdiri di hadapannya. 

***

Gue kembali menyesap teh hangat pemberian cewek yang sekarang duduk di hadapan gue. "Salah ya kalau gue begini?" tanya gue ke Chelsea setelah gue cerita semuanya ke dia. Sudah dua mingguan Chelsea menetap di Jakarta. Sepertinya Jakarta lebih dia sukai dari pada Aussie. Bahkan dia juga menerima tawaran pekerjaan di salah satu rumah sakit besar di pusat kota.

"Menurut kakak sendiri gimana?" dengan senyum kecil dia balik bertanya.

Sambil memainkan jari-jari, gue berpikir, "Gue tahu nggak seharusnya gue marah sama Kai. Bukan sepenuhnya salah dia juga kecelakaan itu terjadi. Tapi gue belum bisa ketemu dia. Gue takut"

"Apa yang kakak takutkan?" 

"Gue juga nggak tau. Tapi badan gue yang bereaksi. Gue keringat dingin, gemeteran. Seolah-olah gue dibawa kembali ke masa-masa itu. Ada darah dimana-mana. Suara ledakan dan semburan api melahap habis orang-orang yang gue sayang di depan mata gue sendiri, gue..gue..." kalimat gue terpotong oleh isak tangis. Gue nggak paham sama diri gue sendiri, di satu sisi gue belum bisa nerima Kai tapi di sisi lain gue membutuhkan dia. In between, berada diantara dua sisi yang saling berbeda. Dia yang udah jadi tempat gue bersandar selama ini. Dia yang udah bawa gue keluar dari keterpurukan. Saat gue udah mulai terbiasa dengan kehadirannya, saat gue udah menaruh segala kepercayan  padanya, dan saat gue udah memberikan seluruh jiwa raga gue, tiba-tiba dia menjadi momok yang memporak-porandakan kehidupan gue. Sakit banget rasanya. Mengetahui orang yang paling gue cintai menjadi penyebab hal terburuk yang pernah terjadi di hidup gue. 

"It's okey Kak, it's just a phase to pass." Chelsea menepuk-nepuk pelan punggung gue, mencoba menenangkan gue yang sudah tenggelam dalam isak air mata. 

***

Gue udah larang Chelsea kasih kabar ke suami gue kalau gue ada di sini. Tiga hari berlalu dan semua baik-baik saja. Namun tidak hari ini, saat gue di apartemen Chelsea seorang diri. Biasanya ada kurir yang suka pencet bel pintu buat nganterin paket atau pesanan makanan, makanya gue nggak curiga dan main buka pintu gitu aja waktu bel berbunyi. Langkah gue terhenti, begitu melihat siapa yang ada di balik pintu. Nafas gue kembali memburu, jantung gue berdegub kencang, dan keringat dingin membanjiri dahi gue. Dengan tubuh yang bergetar gue berbalik dan menutup kembali pintu itu. Tapi tangan kekar suami gue menahannya, "Dek, mas mau bicara sebentar".

"Enggak" suara gue pecah. Dengan sekuat tenaga gue tarik gagang pintu dan menutupnya keras. Begitu tertutup badan gue melesak ke lantai. Sayup-sayup terdengar suara Kai dari balik pintu. "Maafin mas, dek. Maafin, mas. Kamu boleh hukum Mas apa aja tapi jangan gini. Biarin Mas ngomong sama kamu"

Bibir gue bergetar, air mata pun mengalir turun. "Mas pergi.. pergi..!" hardik gue sebisa mungkin.

"Mas tahu Mas salah. Mas minta maaf."

"Kenapa Mas harus hadir lagi di kehidupan aku? Kenapa Mas nikahin aku? Karena Mas ngerasa bersalah?" tanya gue tiba-tiba di sela tangisan.

"Mas tahu apapun yang Mas lakukan nggak akan mengubah apapun, sekeras apapun Mas mencoba nggak akan bisa menebus kesalahan Mas. Tapi Mas nikahin kamu karena Mas bener-bener cinta sama kamu dek, perasaan Mas tulus"

"Kalau gitu kenapa Mas nggak bilang sama aku sejak awal? Kenapa Mas sembunyiin semuanya?"

Tak ada suara dari balik pintu, hingga terdengar samar-samar sebuah isakan dan suara parau yang bergetar. "Maaf.. Maaf.. Mas takut kamu bakalan benci sama Mas, Mas takut kamu bakal niggalin Mas.. Tolong dek, biarin Mas ketemu kamu. Kita ngomong baik-baik, ya?"

Gue menggelengkan kepala, "Aku nggak bisa.. aku nggak bisa berhadapan langsung sama Mas. Mas pulang aja"

"Enggak. Mas bakalan nunggu kamu di sini sampai kamu bukain pintunya"

"Enggak. Mas pergi. Aku nggak mau ada Mas di sini. Nggak mau"

"Kamu benci banget ya sama Mas?" tiba-tiba pertanyaan itu menghantam gue.

Enggak. Seberapa sakitnya dia menorehkan luka di hati gue, tapi gue tetep nggak bisa ngebenci dia. Gue cuma belum siap ketemu dia. Gue nggak sanggup menatap wajahnya. 

"Mas pergi. Kasih aku waktu. Aku belum sanggup ketemu Mas. Tolong ... jangan paksa aku kayak gini. Aku bener-bener nggak sanggup ketemu Mas.. Hiks.. hiks... aku nggak sanggup"

Hanya suara isak tangis gue yang mengisi jarak di antara kita. Hingga Kai kembali membuka mulutnya, "Baik kalau itu yang kamu Mau, Mas pergi sekarang. Tapi Mas bakal nunggu kamu, sampai kapanpun."

Gue terdiam. Tidak ada lagi suara di antara kita. Ketika gue yakin dia udah pergi, perlahan-lahan gue membuka pintu. Tak ada siapa-siapa lagi di sana. Kosong. Namun pandangan gue menangkap sebuah benda pipih tergelak di depan kaki gue. Gue menunduk untuk memungut benda itu. Loh? Ini testpack yang gue buang ke tempat sampah setelah keinjek Sigra waktu itu. Jangan-jangan, Kai pungut ini dan tau kalau gue hamil. 

Di bawah testpack itu ada secarik kertas. Tanpa pikir panjang, langsung gue buka dan gue baca isinya.

"Bilang sama Mama ya nak, Papa sayang banget sama Mama kamu. Sampai kapanpun, Papa akan jaga kalian berdua. Sehat terus sayang... sampai nanti Papa bisa ketemu kamu lagi."

In BetweenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang