34. Langkah Pertama

3.7K 419 24
                                    

Masakin udang asem manis.
read

Mampus kepencet. Mana di-read lagi. Duh, gue harus gimana dong...

Ting.

Gue intip layar ponsel gue yang menampakkan sebuah notifikasi balasan dari Kai.

Kamu ngidam?

Buruaaannn.. 

Iya sayang 😘

Ambyar sudah. Demi apa gue dipanggil sayang.

Setelah sekian lama nggak komunikasi, kenapa dipanggil sayang sekali aja bikin jantung gue disko kek gini ya.

"Ini demi kamu loh dek" ucap gue sambil mengelus-elus perut gue yang mulai membesar. "Kamu ini kenapa sih nggak mau makan kalau bukan masakannya Papa?"

Satu jam kemudian, ponsel gue kembali berbunyi.

Mas udah di depan apart ini.

Taruh aja udangnya di depan pintu.
Trus Mas pulang.

Mas nggak boleh ketemu kamu dulu ya dek
Kangen

Nggak

Ya udah. 
Makan yang banyak ya, biar dedek sama Mama sehat terus.

Pesan terakhir cuma gue read doang. Jujur, sebenernya gue kangen banget sama Kai. Tapi rasa takut akibat trauma gue begitu mendominasi, ditambah lagi hormon kehamilan gue yang bikin gue sangat sensitif dan emosional.

"Kakak masih belum mau ketemu kak Kai?" tiba-tiba gue inget pertanyaan Chelsea tadi malem.

Gue menghela nafas pelan sebelum menggeleng, "Gue takut Chels"

"Trauma itu wajar kak, tapi bukan berarti kita harus terpuruk dalam kenangan itu selamanya. Kakak harus bisa mengalahkan ketakutan Kakak sendiri. Nggak selamanya kakak bisa ngehindar dari kak Kai. Inget kak, masih ada dedek bayi yang butuh papanya"

Tangan gue refleks mengelus perut gue. Tak ada kata-kata Chelsea yang salah. Anak ini bagaimanapun adalah bagian dari Kai. 

"Ikhlas kak. Ikhlasin semuanya. Lawan ketakutan apapun itu di dalam diri kakak."

Gue cuma terdiam.

"Kak, coba deh kakak lihat dari sudut pandang yang lain. Apapun yang sudah terjadi itu mungkin yang terbaik buat semuanya. Orang tua kakak sudah tenang di alamnya, mereka bisa beristirahat dari beban dunia, tidak perlu menjalani masa-masa tua, tidak perlu merasakan sakit, tidak perlu bekerja keras membanting tulang setiap hari lagi. Mereka sudah terlepas dari semua itu dan kini berbahagia di atas sana. Dengan kejadian itu juga kakak bisa bertemu kak Kai, orang yang akan selalu ada buat kakak apapun keadaannya. Coba  bayangkan jika kakak tidak pernah mengenal kak Kai, adakah laki-laki di luar sana yang bisa menjadi suami kakak sesempurna kak Kai?"

Keheningan memenuhi jarak diantara kita sebelum akhirnya gue angkat bicara, "Enggak. Nggak ada yang akan bisa menjadi lebih baik dari pada Kai. Gue yakin itu. Kai adalah hadiah terindah yang pernah diberikan untuk gue. Tapi dia juga duri tertajam yang menancap di relung hati gue."

"Ambil duri itu kak, ambil dan buang jauh-jauh. Semua ada di tangan kakak, membiarkan duri itu tertancap selamanya atau ambil dan buang jauh-jauh."

"Tapi.." ucap gue tertahan.

"Coba kalau tangan kakak tertusuk duri, apa yang akan kakak lakukan? Membiarkan duri itu tetap ditangan kakak atau mengambil duri itu dengan resiko jari-jari kakak akan terluka?"

In BetweenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang