Bismillahirrahmanirrahim...
Aku sudah pernah merasakan semua kepahitan dalam hidup dan yang paling pahit adalah berharap kepada manusia.
-Ali bin Abi Thalib-***
Aku baru saja selesai menunaikan sholat ashar, hari ini tidak ada jadwal rapat atau kegiatan lain yang harus aku lakukan.
Sore ini terlihat mendung, awan menggulung dengan warna hitam pekat. Seolah siap menumpahkan air yang mengendap di dalamnya. Angin pun ikut hadir, berhembus kencang menjatuhkan dedaunan kering, hingga berserakan memenuhi halaman. Suara guntur juga mulai muncul, namun, suara riuh siswa-siswi masih tetap ada. Tapi akhirnya, tak lama setelah itu, mereka yang sedang asyik bermain bola pun menghentikan aktivitasnya, dan membubarkan diri dari lapangan.
Aku bergegas menuju kelas, menyegerakan diri untuk pulang ke kosan. Aku melangkahkan kaki dengan cepat, sedikit berlari. Tapi, tiba-tiba seseorang menyerukan namaku, membuatku berhenti melangkah. Saat menoleh ke arahnya, ia juga melangkah mendekat ke arahku. Aku merasa kikuk. Dia itu, Rafli.
"Nashwa, bisa kita ngomong sebentar?" ucapnya
"Iya silakan," aku mengangguk dengan senyum yang sedikit ku paksakan.
"Tapi, jangan disini," pintanya
"Kenapa?" Aku bingung, keningku dibuat semakin berkerut ketika banyak siswa menghampiri kami. Aku baru sadar, jika sedang berdiri di parkiran. Aku Melewati untuk memotong jalan, agar sampai di kelas lebih cepat. Dengan segera aku menjauh dari sana, banyak dari mereka yang tak sabar ingin mengeluarkan motor dan menancapkan gasnya.
Aku berdiri di depan sekretariat rohis saat ini, bersama dia yang baru saja mengajakku berbicara dengannya.
"Kamu nggak papa?" pertanyaan itu kembali membuatku bingung, kenapa dia seringkali bertanya dengan kalimat seadanya? Kenapa tidak lebih jelas agar paham dengan maksudnya?
Menurutku, dia tidak cuek, hanya pendiam saja. Dia cukup peduli dengan yang lain, meski, ya begitu jika bertanya. Irit ngomong kali ya? Hihi, maafkan aku kali ini.Aku bergeming, mencerna maksud ucapannya, Rafli menatapku yang tampak bingung, tanpa mengulangi lagi ucapannya. Ah, sepertinya dia kurang peka. "Em, iya. Aku nggak papa, aku baik-baik aja kok Raf. Alhamdulillah aku sehat," Jawabku meringis. Entah jawaban itu yang dia inginkan atau bukan, itulah yang dapat ku tangkap dari pertanyaannya.
"Alhamdulillah, syukur ya Allah." Dia tersenyum menatapku, wajahnya terlihat lega sekarang. Aku membalasnya sekilas dan segera mengalihkan pandangan seraya menggigit bibir. Aku mengatur detak jantung yang mulai tak beraturan ini. Masya Allah, tatapannya itu, kenapa bisa membuat detak jantungku berdetak abnormal seperti ini ya Rabb?
"Ohya, emang ada apa yah Raf?" tanyaku berusaha menetralkan diri.
"Oh, itu, kemarin ada sesuatu yang terjadi antara kamu sama," Rafli menggantungkan kalimatnya, "Ayu?" lanjutnya
Aku sekarang paham maksudnya. "Iya Raf," balasku singkat, berita mengenai aku dan Ayu sudah menyebar di beberapa kelas. Pagi tadi, aku juga mendengar teman-teman angkatan dari jurusan lain sedang membicarakanku. Aku tak bisa menghentikan mereka semua seorang diri, agar berhenti membicarakan masalahku itu, karena bagiku itu sudah selesai.
Detik ini, Rafli ingin mengetahui kejelasannya. Aku bingung antara harus menjawab atau mengabaikan pertanyaan itu. Aku tak mau mengungkit masalah yang terjadi kemarin. Apa aku perlu menjelaskan hal itu kepadanya? Kenapa dia sangat ingin tahu? Apakah ia mengkhawatirkanku?
"Dibawa santai aja kalo sama aku Nash. Ceritanya pelan-pelan aja nggak apa-apa, aku siap dengerin kamu kok." Sekali lagi, dia menyunggingkan senyum padaku. Aku hanya melihatnya sekilas, namun, bisa kutangkap ketulusan dari senyumnya itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Oh Allah
SpiritualNashwa mengagumi sosok Rafli Khaydar Al-Farazi, semua yang ada pada Rafli terlihat mengagumkan dimata Nashwa. Sosoknya yang tampan, cerdas, tegas, ditambah lagi dengan suara merdunya yang terdengar ketika melantunkan sholawat, membuat banyak kaum ha...