Part 1

556 69 21
                                    

Akankah pergiku, mencipta rindu pada akhirnya?

🍁🍁🍁

Semesta menyapa pagi. Semburat merah perlahan-lahan mulai terlihat samar dipenghujung timur dibawah kaki langit. perlahan ia menampakkan keindahan warnanya kembali, aku terpukau. Maa syaa Allah sekali. Kembali aku merenung, mungkinkah esok hari aku masih bisa menyaksikan warnanya yang mendamaikan ini? Diatas bukit kecil yang menjadi tempat favoritku dalam melampiaskan segala penat. Melepaskan rasa lelah yang kadang datang menggerogoti tanpa izin. Rasanya aku ingin terbebas, namun aku sedang tidak tertahan. Entahlah..

Hari ini adalah hari terakhir aku ujian, ujian Nasional tingkat SLTP, besar kemungkinan dua hari lagi aku akan libur. Hari itu akan sangat menyenangkan, mungkin. aku bisa bersantai di rumah ataupun go to holiday sama teman yang lain. Setelah memikirkan itu, kudengar Bunda memanggilku,

"Athifah.. kamu masih dikamar sayang? "
Panggil Bunda dari luar kamarku.

"Iya Bundaa " jawabku sembari menghampirinya.

***
Siti Lathifah Al Malika Jannah. Sebuah nama yang diikrarkan seorang Ayah pada Putrinya. Sebuah doa yang diabadikan Bunda lewat nama itu. Ayah dan Bunda memanggilku Athifah, begitupun dengan yang lain. Kenapa? Kata Bunda, Athifah adalah panggilan yang baik. Setiap kali Bunda memanggilku itu artinya Bunda mendoakan yang terbaik untukku.

Aku tinggal di pelosok desa yang terpencil, jauh dari keramaian. Sekolahku sendiri terletak cukup jauh dari rumahku, untuk sampai kesana, Ayah sering mengantarku dengan naik sepeda motor yang sederhana. Ayahku sendiri sering memanggil ku dengan sebutan Putri kecil. Aku pernah bilang padanya bahwa aku sudah bukan lagi anak kecil, namun Ayah hanya tersenyum lalu berkata..

" bagi Ayah kau tetap putri kecil Ayah. Meskipun sekarang kau sudah tumbuh remaja namun tetap saja Ayah akan menganggapmu sebagai putri kecil yang manja. " Katanya dengan tersenyum lalu memelukku dengan penuh kasih sayang. Aku menyayanginya. Sangat.

Kebahagiaan pada keduanya adalah prioritasku, Ayah dan Bunda. Namun keharmonisan tidak selalu tinggal dalam keluarga, tetap saja dibalik kebahagiaan, Kesedihan akan selalu turut bersamanya. Bukan hal yang asing lagi.

Selanjutnya kuhentikan pikiranku mengenai masalah itu, kulangkahkan kaki lalu keluar dari ruangan yang selama ini menjadi tempat singgahku, mengistirahatkan berbagai hal, salah satunya adalah tentang perpisahan yang seperti menjadi beban akhir akhir ini.

***
"Kamu nggk sarapan nak? "Tanya Bunda yang melihatku terburu buru karena takut terlambat.

"Nggk Bunda. Nanti di sekolah aja. Takut telat. Assalamu'alaikum "Jawabku sembari mencium tangannya lalu salam,

"Ya udah hati hati yaa. Wa'alaikumussalam warohmatullahi wabarokatuh," Balas Bunda.

Ayahku? Ayah sejak dua hari ini keluar kota, aku tidak tahu alasannya namun kata Bunda, Ayah mengurus sesuatu yang berhubungan dengan masa depanku. Sebenarnya aku bingung dengan perkataan Bunda, tapi aku hanya mengangguk lalu dibalas dengan senyumannya. Ada perbedaan dari belaiannya pagi ini. Aku melihat ada kekhawatiran dari raut wajahnya yang bijaksana saat aku hendak pergi ke sekolah. Tanpa Bunda sadari aku melihatnya meneteskan air mata saat kulangkahkan kakiku menuruni tangga. Ada apa Bunda? Mungkinkah sesuatu yang buruk akan terjadi? Entah. Namun perlahan aku mencari jawaban dari pertanyaanku hingga pada akhirnya..

***
Ahad pagi mengantarku pada tetesan air bening yang jatuh tanpa aba aba dariku, lepas tanpa izin dan pergi tanpa pamit. Aku jatuh bersamaan dengan air mata pada tempatku singgah, ya kamarku. Kata kata yang masih terngiang pada pusat pendengaranku tentang ucapan Ayah yang ingin melihatku mandiri. Sebelumnya aku tidak mengerti apa maksud dari perkataannya, namun setelah Ayah memberi penjelasan pada Bunda, akhirnya aku paham. Pertanyaan kemarin yang terselip di pikiranku pada akhirnya menemui titik jawabnya. Ayah ingin menyekolahkanku di luar kota. Singkat saja. Aku akan jauh dari mereka. Dari kasih sayang mereka akan berbeda. Dan kenangan di tempat ini? Dimana lagi akan ku jemput sang fajar ketika terbit? Dimana akan kuantar senja pulang lalu menyisakan malam? Tidak. Aku ingin disini, bersama bahagia lalu tenang.

"Ayah. Aku ingin disini. Aku tidak ingin kemana mana. Jika aku pergi aku akan rindu Bunda. Bunda tidak mengizinkan aku rindu Ayah. Bunda tidak ingin melihat putrinya menangis. Lalu kenapa Ayah ingin menyekolahkanku diluar kota. Disini juga ada sekolah Yah. Kumohon. " Tuturku dengan memohon diruang tamu setelah Ayah meminta persetujuanku.

"Sayang.. sekarang kamu bukan lagi putri kecil. "Kata Ayah yang membuatku terdiam.

"Kini saatnya kau harus menjadi seorang putri yang sebenarnya. Kau harus menjadi anak yang berpendidikan sayang. Ayah ingin melihatmu sukses dimasa depan. Maka dari itu ayah akan menyekolahkanmu diluar kota. "Lanjutnya lagi.

Ayah. Boleh aku berpendapat? Aku tidak setuju dengan pendapatmu Ayah. Bagaimana mungkin aku pergi? Bagaimana mungkin aku meninggalkan cerita yang belum sempat kuselesaikan Ayah? Bagaimana dengan mimpi yang sempat kubangun ? Apa harus ku tinggalkan disini bersama kepihan rindu yang akan merintih? Ataukah mimpi itu akan turut pergi ? Tapi tidak membersamaiku? Sungguh! Aku tidak setuju, Ayah.

Namun setelah melihat senyum Bunda yang terukir bijaksana, saat Ayah mengatakan ia ingin melihatku sukses dimasa depan. Maka yang kulakukan hanya dua. Diam lalu mengiyakan. Aku akan pergi. Jauh dari pelosok desa. Jauh dari tempat yang selama ini dekat. Jauh dari kata damai. Aku tahu dikota akan banyak hiruk pikuk keramaian dan dalam waktu dekat, aku akan menemuinya.

***
Dan sore ini, kembali aku mendiamkan diri dalam dekapan semesta. Menunduk perlahan, mencoba menahan air mata yang merontah ingin jatuh.

"Bunda akan merindukanmu sayang. "
Ucapnya lalu memelukku.

"Tidak akan ada lagi yang Bunda panggil dari dalam istana itu. "Ucapnya lagi sembari menunjuk kamarku. Ouh Bunda, Aku akan lebih Merindukan Bunda.

"Bunda yang sehat yaa. Bunda jangan lupa doain aku jadi anak yang Sholeha." Pintaku dalam dekapannya.

"Pasti sayang. Doa Bunda tidak pernah putus untuk putri Bunda. Jadilah putri Sholeha sayang. Jadilah Wanita penyabar lagi santun. Teladanilah ibunda khadijah. Jadilah Fatimah akhir zaman yang dirindukan surga. Dan cerdaslah seperti Humairaa Aisyah R.A. Bunda menyayangimu nak. " Katanya lagi disertai doa dan harapan Bunda terhadapku. Begitu mulianya doa Bunda. In syaa Allah Bunda, Athifah akan menjadi perempuan seperti yang di inginkan Bunda.
.
.
.
Kuucapkan kata manis saat senja perlahan-lahan tenggelam keparaduannya. Meninggalkan langit semesta. Aku tersenyum saat kusaksikan kembali Senja yang hilang dibalik bukit menyisakan gelap berganti malam. Mungkinkah ada seseorang yang bisa menginspirasiku diluar sana? sama seperti senja?

***
Selanjutnya, waktu itu telah datang. Waktu yang sebelumnya tidak ku ingini namun perlahan ku sambut dengan segelintir senyum yang kupaksakan. Ya, hari ini aku akan berangkat ke kota. Menuju sebuah tempat dimana aku akan melanjutkan sebuah mimpi yang sempat kubangun sebelum hari ini.

Bukti Cinta Allah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang