Lo pernah nggak sayang banget ke seseorang tapi lo ada di titik dimana lo capek terus-terusan memaklumi, capek terus-terusan meyakinkan diri sendiri 'oke, nggak apa-apa', capek terus-terusan percaya suatu saat dia bisa sedikit berubah, iya sedikit aja bisa ngertiin lo, sedikit aja nggak banyak. Di titik dimana berpisah lo harap bisa buat dia sadar betapa capeknya lo, dimana berpisah lo harap bisa bikin dia sadar kesalahannya yang selama ini lo berusaha terus yakin bukan kesalahan, dimana berpisah jadi satu-satunya harapan lo bisa balik memaklumi dia lagi, balik yakin dia bisa berubah lagi.
Pernah nggak?
"Aku capek kita terus-terusan berantem, terus diem-dieman kayak gini." Ucap gue setahun yang lalu sembari terbayang argumen-argumen yang keluar dari mulut gue dan Watu satu jam sebelumnya yang sepertinya sudah terbiasa menemani kebersamaan kami selama setahun kebelakang. Penyebabnya hal-hal yang sekilas tampak remeh, kadang remeh untuk Watu kadang remeh untuk gue.
"Aku juga." Responnya.
"Kita harus gimana?" Gue menatap kedua matanya putus asa. Berharap Watu kasih gue jawaban yang selama ini gue cari.
Tapi Watu malah jawab, "Nggak tau... Terserah kamu." Watu menyalakan batang rokok yang sejak tadi dipegangnya. Lalu menjauh dua langkah, membelakangi gue.
Gue benci Watu yang seperti itu. Watu yang merokok. Watu yang menjauh disaat gue berharap kita bicara serius, terfokus saling bertatap wajah. Watu yang seperti lelah menghadapi gue. Watu yang tau gue terluka setiap dia bersikap seperti itu tapi memilih mengilanginya, mengabaikannya.
Gue melangkah mendekat mengambil batang rokok menyala dari dua sela jarinya, memaksanya berbalik menatap gue. "Kita udahan kayak gini terus, yuk?" Gue menjatuhkan batang rokok itu ke lantai apartemennya lalu menginjaknya dengan slipper kelinci kesayangan gue. "Kita... udahan."
Berat. Tapi gue berhasil mengatakannya.
"Kita putus?" Watu memastikan.
"Hmm."
"Oke."
Dan 25 Mei setahun yang lalu, kita pun berpisah. Dengan setitik harap, perpisahan bisa membawa Watu dan gue seperti dua tahun sebelumnya, perpisahan bisa membuat Watu dan gue lebih dewasa, hingga beban yang terus menumpuk dipundak kami setahun terakhir tidak mengikis perlahan kehangatan kami.
Diluar dugaan, setelah setahun berlalu, waktu malah membawa gue dan Watu semakin menjauh.