"Aku sudah melangkah pergi. Tidakkah itu cukup? Tetapi..."
Disclaimer : Masashi Kishimoto
Setelah kembali dari kediaman Namikaze, Hinata langsung menandatangani surat perceraian antara dirinya dengan Naruto dan menaruh surat tersebut diatas meja ruang tengah.
Hinata tidak berani masuk ke dalam kamar Naruto. Hinata takut Naruto akan memarahinya.
Kini Hinata sedang duduk menonton tv sembari menunggu Naruto pulang. Makan malam sudah Hinata siapkan seperti biasa.
Mata indahnya sesekali melihat ke arah jam dinding dengan gelisah.
Sudah pukul 11 malam tetapi Naruto belum juga pulang.
Namun baru saja Hinata beranjak dari duduknya dan hendak melangkah ke dalam kamar ketika suara mobil Naruto terdengar.
Dengan cepat Hinata mengambil surat perceraian dan melangkah menuju pintu utama, diam berdiri seraya tersenyum seperti biasanya.
"O-okaeri N-Naruto-kun!" Ucapnya riang menyambut kedatangan Naruto.
Namun sifat Naruto padanya menjadi seperti dulu. Diam dan tetap berjalan seakan menganggap dirinya tidak pernah ada.
Hatinya sangat sakit tentu saja. Apalagi setelah mengetahui alasan dibalik perihal hangatnya sikap Naruto.
Tetapi Hinata menguatkan dirinya.
"Naruto-kun, a-aku sudah menyiapkan m-makan malam. Naruto-kun ingin m-mandi dulu a-atau makan?" Tanya Hinata lembut seperti biasa. Kedua tangannya menggenggam erat surat perceraian.
Kali ini, apapun yang terjadi Hinata harus memberikan surat ini kepada Naruto.
Baru saja Naruto ingin membuka pintu kamarnya ketika sebuah tangan menahan pintu dihadapannya.
Naruto menoleh dan menatap Hinata tajam. "Minggir." Ucapnya rendah dan menusuk.
Hinata menggeleng. "Tidak Naruto-kun. A-aku..ingin b-berbicara denganmu. H-hanya sebentar."
Naruto yang tidak peduli itu pun menghentakkan tangan Hinata seraya mendorongnya kasar lalu dengan cepat membuka pintu kamarnya.
Hinata yang seolah tidak ingin kalah itupun dengan tergesa melangkah maju dan menahan pintu yang akan ditutup oleh Naruto itu.
"Aku..aku tahu Naruto-kun tidak ingin berbicara denganku tapi..tapi bisakah Naruto-kun menandatangani ini?" Ucap Hinata lirih seraya memandang sendu Naruto.
Naruto yang sempat tertegun karena mendengar Hinata yang tidak lagi terbata saat berbicara kepadanya itupun segera tersadar dan mengambil kasar surat yang Hinata sodorkan kepadanya.
Baru sekilas surat itu dibacanya, Naruto entah mengapa menjadi sangat marah. Murka.
"Apa maksudmu hah?!" Dengan kasar Naruto menyentakkan tubuh Hinata kearah tembok, mencengkram leher Hinata kuat.
"Sialan! Kau ingin menceraikanku hah Hyuuga?! Dasar tidak tahu terima kasih!" Naruto semakin menguatkan cengkraman tangan nya di leher Hinata.
Naruto kalap.
Hinata yang terpojok itupun hanya memejamkan matanya, menahan air mata yang memaksa keluar.
"Argh! Baiklah jika itu maumu! Aku sudah muak! Pergi dari rumahku!" Naruto dengan cepat melepaskan cengkraman nya lalu dengan kasar menjambak rambut Hinata.
Menarik kasar Hinata menuju pintu utamanya. Dan mendorong paksa Hinata keluar sehingga Hinata terjatuh.
Naruto berbalik, berjalan cepat ke dalam rumahnya. Kemudian kembali lagi dengan melemparkan surat perceraian yang sudah ditanda tanganinya ke arah Hinata.
"Puas hah?! Pergi kau! Jangan pernah menampakan diri dihadapanku! Kau wanita menjijikan!" Ucap Naruto seraya membanting pintu keras.
Hinata yang sudah tidak bisa menahan air matanya pun membiarkan cairan bening itu mengalir deras.
Menangis pilu.
Hati serta tubuhnya sakit.
Hinata menumpukkan kedua tangan nya yang bergetar hebat pada lantai. Berusaha untuk berdiri. Mengabaikan sakit pada lututnya.
Diambilnya surat perceraian sebelum berjalan menjauh dari rumah mereka.
Tidak. Itu adalah rumah Naruto.
Hinata terlihat menyedihkan. Dengan kedua mata bengkak yang sedari tadi mengaliri cairan bening, sorot mata yang kosong dipenuhi kepiluan, rambut yang acak-acakan, juga bibir bergetar yang digigitnya sekuat tenaga.
Beruntung, jalanan yang sudah mulai sepi ini sedikit banyak membantunya.
Tidak akan ada yang melihat Hinata dengan pandangan anehnya.Kakinya yang terluka terus dipaksanya melangkah entah kemana.
Hinata tidak memiliki tempat tinggal.
Hinata akan terus berjalan.
Terus berjalan hingga dirinya sudah tidak sanggup lagi untuk melangkah.
Tanpa sadar, kakinya melangkah menyeberangi lampu merah.
Tanpa diduga, sebuah mobil dengan warna yang sangat mencolok yang entah dari mana datangnya itupun menghantam tubuh mungilnya keras.
Menabraknya.
Dan meninggalkan nya terkapar di tengah jalan.
Hinata sudah tidak merasakan apapun. Tubuhnya seakan mati rasa karena terlalu sakit.
Pandanganya meredup.
'Aku sudah melangkah pergi. Tidakkah itu cukup? Tetapi jika memang ini akhirku, tak apa. Aku sudah terbebas. Tidak lagi terikat dengan siapapun. Maafkan aku, dan terima kasih atas segalanya. Terima kasih Kami-sama.'
Doanya sebelum kegelapan mengambil alih seluruh kesadarannya.Surat perceraian yang juga tergeletak tak jauh dari tubuh Hinata seakan menjadi sasksi bisu atas kejadian tersebut.
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Cadeia
FanfictionJauh dalam hatinya, ia berjanji. Bahwa dirinya akan bertahan untuk terakhir kalinya. . . . Hanya satu kali ini saja.