🍁- 3 | Trauma

193 20 0
                                    

"Jina? Lo kenapa? JINA JAWAB GUE LO KENAPA?! JINA!"

Renjun ngedenger isakan Jina. Jina nangis? Tapi kenapa?

"Jina lo nangis? Lo gapapakan?!" Renjun jadi khawatir Jina kenapa napa.

"Renjun, gue takut...hiks..." Jina akhirnya bersuara. Jina perlahan turun dari motor Renjun dan berdiri di sebelah Renjun.

"Ji, kita tunggu di dalem aja yuk?" tanya Renjun dibalas anggukkan oleh Jina. Renjun ngegandeng tangan Jina untuk masuk ke dalam minimarket.

"Lo duduk disini aja, gue mau beli popmie sebentar, lo mau nitip apa?" Jina ngegeleng. "Yaudah, lo tunggu sini. Jangan kemana-mana. Jangan nangis."

Jina duduk di kursi yang tersedia di dalam minimarket itu.

Sambil nunggu, Jina ngeliatin cowok
asal Jilin itu dari tempat ia duduk.

Tiba-tiba cowok yang sedang diperhatikan Jina itu melompat dan berteriak kesakitan. Setelah diamati oleh Jina ternyata dia kecipratan air panas.

Jina jadi ketawa karena kejadian itu. Setelah itu dilihatnya Renjun berjalan kearah Jina.

"Nih, hot chocolatenya buat elo, jangan nangis lagi Ji, ntar bisa bisa gue digebukin sama abang lo kalo abang lo tau," Renjun menarik kursi di sebelah Jina lalu duduk.

"Makasih Renjun," Renjun hanya balas dengan dehaman.

Tiba-tiba petir menyambar. Dengan reflek, Jina langsung menutup telinganya, memejamkan mata, dan menunduk.

Jina benci petir. Jina benci hujan. Karena petir dan hujan selalu membuat Jina mengingat kembali kenangan masa lalu yang tidak ingin Jina kenang.

"Jina lo gapapa?!" Renjun memegang kedua pundak Jina agar Jina menghadap Renjun. Jina menangis dan terisak. Kali ini tangisannya lebih kencang dari yang tadi.

Jina menggeleng.

"Jina, please bilang ke gue! Lo kenapa?!"

"Enggak Renjun enggak..." Jina terus menangis sambil menggelengkan kepalanya. Renjun menarik Jina ke dalam pelukannya.

"Udah Ji, udah. Gue ada disini jagain lo. Renjun disini, Jina." Renjun mengusap rambut hitam milik Jina perlahan.

                                ___

"Jina kenapa Njun? Bukan lo yang bikin mata dia jadi bengkak gitu kan?" tanya Jeno ke Renjun saat Jina sudah pergi ke kamarnya.

"Ya enggak lah bang, bukan gue. Tadi pas nganter Jina, gue sama Jina neduh dulu di minimarket pinggir jalan karena udah mau hujan. Terus pas petir sahut sahutan, Jinanya udah nangis gitu aja bang. Sumpah deh bukan gue yang buat Jina nangis."

"Oh"
"Oh doang?" Renjun meminta penjelasan tapi Jeno gangerti dan mengerutkan keningnya, "Lo gamau jelasin sesuatu tentang Jina gitu?"

"Lo belum saatnya tau cerita masa lalunya Jina, Njun. Ada waktunya. Nanti pasti lo bakal tau sendiri dari Jina langsung. Ga lewat gue, Njun."

                                ___

Di pagi hari yang cerah ini, mood Jina udah berhasil dibikin acak acakan sama abangnya sendiri, Lee Jeno.

"Dek, nanti jam istirahat lo samperin Yoonbin ya," kata Jeno.

"Harus banget apa?! Buat apasih?!" Jina berkacak pinggang dan menatap Jeno.

"Dia mau berbisnis sama lo. Udah temuin aja sih!"

"Ogah!" Jina berjalan mendahului Jeno.

"Woy Lee Jina! Sini lo! Jangan kabur!" teriak Jeno sambil berlari mengejar Jina.

Ombrophobia | Huang RenjunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang