Aku kembali membisu
Terlempar jauh ke masa lalu
Membeku
Menyatu dengan rasa rindu
Yang tak henti mendru…#
Pukul delapan. Mentari mulai menghangatkan udara pagi, membiarkan embun-embun menggantung di dahan-dahan juga di kaca-kaca mobil yang terpakir di jalanan depan pesantren. Warung ini masih sepi. Santri-santri sekolah pagi sedang berkutat dengan kitab sekarang. Biasanya mereka yang selalu membuat warung ramai. Bahkan membuatku kualahan! Pagi begini santri yang bersekolah malam jarang ke warung. Paling hanya satu-dua. Membeli kopi atau gorengan. Boleh jadi sisanya tengah meringkuk, bergulat dengan mimpi.
Sudah tiga tahun aku menjadi abdi ndalem di warung ini. Warung 3 x 5 meter ini sederhana sekali. Menyediakan aneka gorengan, kopi, teh dan minuman-minuman lain. Walau sederhana tetap saja warung ini ramai. Apalagi saat jam-jam santai. Banyak yang ngopi bertemankan gorengan.
Jujur saja, warung ini mirip sekali dengan warung di depan teras rumahku. Warung milik ibu!
Dulu, aku tidak pernah mau kalau disuruh menjaga warung. Aku selalu menghindar, kabur. Hanya sesekali saja saat memang benar-benar terpaksa.
“Din, jaga warung sebentar. Ibu mau sholat dhuhur dulu!” Itu yang sering diucapakan ibu ketika aku baru sampai di rumah sepulang sekolah. Ibu langsung masuk ke dalam rumah tanpa menunggu jawaban ‘iya’. Terpaksa aku menjaga warung!
Bagiku menjaga warung itu membosankan dan merepotkan. Duduk termenung sendirian sambil menunggu satu dua pelanggan yang tidak jelas datangnya. Kalau sudah ramai harus siap-siap tangan seribu kalau pesanan nggak mau numpuk. Dan yang paling aku benci, kita harus pura-pura akrab dengan pengunjung, memaksa bibir untuk memberikan senyuman terbaik, terlihat bahagia dan penuh sopan santun, dengan dalih pengunjung akan kembali lagi ke warung suatu saat nanti. Itu dulu pesan ibu padaku saat aku terpaksa menjaga warung. Benar-benar merepotkan! Makanya, aku selalu beralasan saat ibu menyuruhku menjaga warung. Ada tugas kelompok lah, mengerjakan PR, atau apa saja asalkan aku bisa terbebas dari tugas itu.
Memang, terkadang kasihan sekali melihat ibu menjaga warung sendirian. Dari pagi sampai malam. Kata ibu, buka warung di depan rumah biar ibu tidak nganggur. Dan, memang ibu sangat menikmatinya. Bapak yang bekerja di kantor pulangnya sore. Paling-paling kalau malam bapak ikut ngobrol di warung bersama bapak-bapak tetangga. Kalau aku lebih memilih nonton TV di dalam rumah atau bermain gadget di kamar.
Bagiku menjaga warung selalu membosankan. Hingga hari itu datang!
Siang itu jam satu aku pulang dari sekolah. Matahari sedang puas-puasnya tertawa melihatku kepanasan. Panasnya benar-benar menyengat sampai ke ubun-ubun. Setelah turun dari angkot yang tidak terlalu jauh dari rumah aku mempercepat langkah kakiku. Di jalan aku sudah menyiapkan seribu satu alasan agar nanti tidak menjaga warung saat ibu menyuruhku. Tapi, saat sampai di rumah, ada banyak orang disana. Apa pelanggan ibu sebanyak itu? Sepertinya ada yang berbeda. Ada sisa-sisa asap yang masih mengepul, membuat langit biru dengan awan-awan putih seperti sengaja dituangi mangsi. Hatiku mulai resah. Apa yang terjadi? Aku mendekat, menghampiri orang-orang disana.
“Ada apa?” aku bertanya pelan. Semua mata menoleh padaku. Terlihat jelas warung ibu terbakar habis beserta ruang depan rumah. “Apa yang terjadi?” tanyaku kalap. Tak ada yang menjawab. Hanya tatapan-tatapan iba yang terus menelanjangiku.
“Ibu, ibu dimana?” aku menyibak kerumunan. Masuk ke dalam rumah melalui puing-puing genting dan abu yang basah. Hingga sampai di ruang tengah, “Ibu dima…” suaraku tercekat. Bibirku bungkam. Kata-kata yang hendak kuucapkan menghilang begitu saja entah kemana. Ritme waktu berjalan lamban. Disana, di atas dipan di tengah kerumunan, ibu terbujur kaku. Tubuh yang dulu selalu menggendongku waktu aku menangis melepuh, hangus terbakar. Wajahnya yang ayu sebagian kini telah rusak.
Aku bergetar, berjalan tertatih, mendekati ibu yang tengah ‘tidur’ disana, mencari-cari pegangan tapi yang kudapat hanyalah udara kosong. Tanpa kata-kata. Tanpa suara. Aku berlutut di sebelah dipan. Gemetar mencium tangan ibu perlahan. Air mataku meleleh layaknya mentega di atas wajan. Tangan ibu yang halus, yang biasa aku cium sepulang sekolah, kini tampak keriput, kasar.
Aku ingin memanggilnya, menyuruhnya bangun. Tapi tak terdengar apapun! Aku ingin meneriakkan namanya sekeras mungkin, biar ibu terbangun dari tidurnya. Tapi suara itu benar-benar sirna tak berbekas. Aku hanya menangis tergugu, mendekap tubuh ibu yang separuh sudah jadi abu.
“Bu, Udin mau jaga warung. Ibu tidak sholat dhuhur dulu? Bu, Udin sudah pulang. Udin mau jaga warung, bu…” bisikku pelan dengan air mata yang masih terus membanjir.
Aku tahu, itu adalah kali terakhir aku bertemu ibu. Kali terakhir menatap wajahnya. Kali terakhir mencium tangannya. Kali terakhir berdekatan dengannya. Benar-benar yang terakhir! Hari itu bukan hanya langit di atas rumahku yang tampak kelabu. Tapi juga hatiku. Penuh dengan awan-awan duka!
Setelah hari itu aku jadi pendiam. Begitu juga bapak. Kami begitu kehilangan. Hidup rasanya jadi membosankan. Hingga satu tahun kemudian, aku lulus sekolah menengah atas dan bapak mengirimku ke pesantren.
“Din, pagi-pagi sudah melamun!” Faisol, teman sekelasku, membuyarkan kenangan masa lalu pilu yang sempat singgah.
“Eh, kamu, Sol! Biasa, warung lagi sepi jadi santai-santai aja. Ada apa?” aku tersenyum ramah seperti biasanya.“Beli kopi hitam satu!”
“Oke, sebentar ya?!” aku kembali ke belakang meja warung. Dengan cekatan meracik kopi lalu memberikannya pada Faisol. “Ini, sudah siap!” aku tersenyum lagi.
“Sip!” Faisol menyerahkan uangnya lantas pamit pergi. Aku kembali duduk di kursi depan meja warung. Kembali mengenang wajah ibu.
Kini, bagiku menjaga warung itu menyenangkan! Karena di setiap pesanan, di setiap adukan kopi, di setiap sudut warung selalu kutemukan kenangan tentang ibu. Ibu terasa begitu dekat. Ibu seolah mengawasiku di warung ini. Tak ada lagi senyuman terpaksa. Karena diam-diam aku selalu tersenyum pada ibu.
Bagiku, menjaga warung selalu menyenangkan. Entah sepi. Entah ramai. Sama saja! Menjaga warung selalu menjadi pengobat rindu yang tak kutemukan di tempat lain.Bagiku, menjaga warung selalu menyenangkan. Karena saat itu pula aku kembali melihat wajah ayu ibu.
“Bu, Udin mau menjaga warung. Udin mau, Bu!”[]-----------------------------
Anda suka?? Jangan lupa tampakkan diri anda ya hehehehe
Vote komen😄
#sanbashori
#sss

KAMU SEDANG MEMBACA
Lika Liku SANTRI (Sudah Terbit!!!)
Kurzgeschichten[SUDAH TERBIT] Cek di Tokopedia, Bukalapak dengan judul yang sama. Maaf, sebagian cerita sudah aku hapus. Jangan lupa order ya 😅😅😅 ................. Kumpulan cerita pendek bertema pesantren. Enggak semua membahas religi. Ada cinta, horor, dan la...