SUARAMU

105 3 0
                                    


Telingaku selalu mendengar bisikanmu, sejak kecil. Kupikir ada yang tidak beres dengan telingaku, sampai-sampai ibu menganggapku gila saat kuceritakan tentang suaramu. Aku begitu takut. Aku mulai belajar mengabaikan suaramu—dan teman-temanmu—dengan musik. Mulailah kelas 5 SD, earphone tak pernah jauh dari telinga.

Tentu aku masih bisa mendengarmu. Sekencang apapun musik yang kuputar, suaramu tetap terdengar. Mau tak mau telingaku harus berdamai dengan suaramu. Lebih-lebih saat aku masuk pesantren. Tak ada earphone, tak ada musik.

Kamu—dan teman-temanmu—sering membisikkan hal-hal aneh. Seperti warna celana dalam teman kelasku, atau apa yang barusan dimakan guruku waktu istirahat, juga merek parfum orang-orang yang kutemui. Sampai-sampai teman-temanku menganggap aku seorang cenayang yang bisa tahu segalanya.

"Kamu bisa melihat mereka?" Seorang temanku bertanya. Indra namanya. Dua tahun ini kami duduk sebelahan. Biasanya dia pendiam. Entah apa yang membuat Indra memulai pembicaraan. Bukan karena kamu, kan?

Aku menoleh. Kelas sudah mulai, tapi guru belum datang. "Tidak. Aku hanya mendengar mereka."

Indra mengangguk seolah menemukan jawaban. Suara-suaramu masih terngiang di telinga, samar-samar, tak jelas. Dalam gerakan cepat, Indra berbisik, "Jangan dengarkan mereka. Mereka jahat. Aku bisa melihat mereka."

Aku mengangguk. Memang aku tak pernah mendengarkanmu. Tapi kurasa kamu tidak jahat, mungkin hanya usil.

Seminggu kemudian Indra tidak sekolah, sakit. Saat masuk dia berkata, "Mereka sering mengganggu. Akhir-akhir ini mereka mencoba menguasaiku." Seminggunya lagi Indra kesurupan, menghebohkan satu kelas. Itu bukan karena kamu, kan? Karena saat Indra kesurupan aku mendengar kamu terkikik-kikik. Aku sih, bodo amat.

#

Kamu bilang, siang itu, Komo—teman sekelasku—akan mati tertabrak mobil saat hendak menyeberang ke toko buku. Aku juga bodo amat. Mungkin sudah takdirnya begitu. Tapi, kamu juga bilang, kalau aku bisa menolongnya. Karena aku masih punya hati dan perasaan, oke, aku akan menolongnya.

"Mo, mau ke toko buku?" Aku menyejajari langkah Komo usai musyawaroh.

"He'em. Kenapa?" Mungkin Komo heran dengan sikapku yang tiba-tiba mendekatinya.

"Gak papa. Bareng, yuk!"

Kamu bilang untuk menunggu waktu yang tepat. Maka, saat sebuah sedan melintas begitu cepat saat kami hendak menyeberang, aku buru-buru menarik tangan Komo.

"Hah! Hampir saja." Kata Komo. "Makasih, ya." Satu nyawa terselamatkan.

Kamu mulai sering berkata mengenai kematian orang. Yang kedua, Amika. Teman kamarku, dia akan mati karena terpeleset tangga sore ini saat hendak naik ke kamar. Maka, kubuntuti Amika, dan disaat yang tepat aku menarik tangannya sebelum dia jatuh dari anak tangga yang tajam itu.

Aku mulai berpikir, kamu baik juga menyuruhku menyelamatkan nyawa orang. Baik, tapi bukan berarti aku menganggap kamu—dan teman-temanmu—sebagai temanku.

Suatu ketika, kamui berkata padaku bahwa aku akan mati. Oke, mungkin sudah takdirku. Apa aku harus takut mati? Takut takdirku sendiri? Bukankah tiap yang hidup akan mati? Aku fine-fine saja.

Masalahnya, yang membuatku tak percaya, alasan kematianku. Indra—teman sebelahku akan membunuhku. Aku sama sekali tak percaya dengan ucapanmu. Apalagi saat kamu bilang, aku harus membunuh Indra sebelum dia membunuhku.

Saat sekolah, kulihat Indra biasa-biasa saja, tidak ada yang aneh. Dia malah tampak baik sekali denganku. Ah, apa benar dia akan membunuhku?

Hari berikutnya. Inilah, katamu, hari dimana Indra akan membunuhku. Oke, aku biasa-biasa saja meski sedikit deg-degan.

Sampai jam pelajaran berakhir tidak terjadi apa-apa. Indra masih anteng-anteng saja. Dia hanya terlihat sedikit kecapean. "Cekik dia sekarang, sebelum terlambat." Itu katamu. Mana mungkin aku tiba-tiba aku mencekik Indra? Dasar.

"Aku pinjem catatan bentar, ya. Tadi keterangan tambahannya belum kecatet."

"Itu di tas." Aku bersandar di dinding sambil kipas-kipas. Pelajaran memang melelahkan.

"Sama gunting, bawa, kan?"

"Cari aja di tas."

Aku masih kipas-kipas. Dan saat itulah, jantungku berdetak cepat. Indra yang sedang menyalin catatan tiba-tiba terkikik sambil memegang guntingku.

Aku duduk, bersiaga. Ternyata kamu benar, ini akan terjadi. Tapi aku jadi tahu. Tawa itu, ternyata kamu yang mau membunuhku. Sekarang aku yakin, kamu benar-benar jahat![]

Kediri, 28 April 2020


----------------------------


Tema berikutnya, guncangan. #haduh

Lika Liku SANTRI (Sudah Terbit!!!) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang