MENCARI WAJAH BAPAK

189 6 0
                                    

Sebenarnya aku mulai bosan.Hampir tiap hari aku mendengar lagu lama yang terasa menyedihkan itu. Benar-benar konyol. Untuk apa mengenang masa lalu yang tak berguna? Hey! Masa lalu tak akan terulang kembali. Dan aku benci masa lalu!

Suatu pagi aku terbangun. Sosok di balik cermin menatapku aneh. Mata merah, rambut acak-acakan, wajah pucat bagai kesetanan. Memang, sejak semalam tidurku tak tenang. Lagu itu terus saja mengikuti dan menari-nari di dalam otakku. Lihat saja! Bahkan sekarang pun aku bisa melihat not-not lagu beterbangan di sekitar kepalaku. Oh, Tuhan! Aku tak bisa fokus pada pelajaran. Bahkan aku harus berdiri karena tidak hafalan pelajaran hari ini.

Pagi hari berikutnya aku seperti orang sinting. Dengan tatapan kosong aku duduk di sudut kamar yang remang sambil bergumam pelan. Menggumamkan nada lagu terkutuk yang bahkan aku belum hafal liriknya, yang lama-lama entah kenapa terasa merdu di telinga.

"Heh, kamu gak apa-apa?" Itu Sihab yang bertanya, teman sekamar dan juga sekelas. Aku masih bergumam di pojokan. Mungkin Sihab sudah menganggapku gila.

"Tsalis..."

"Iya. Aku masih waras kok!" Kemudian aku menggumamkan nada lagu itu lagi dan lagi.

Di matamu masih tersimpan selaksa peristiwa

Benturan dan hempasan terpahat di keningmu

Kau nampak tua dan lelah, Keringat mengucur deras

Namun kau tetap tabah

Ah. Gara-gara lagu itu aku jadi rindu bapak, meski aku sangat membenci bapak! Seperti yang selalu ibu bilang padaku sejak kecil. Bapak itu jahat, dia sudah pergi dan sekarang sudah mati.

Dulu aku sering bertanya pada ibu, mati itu apa? Dan aku juga masih ingat, ibu berkata bapak sudah dibawa ke pemakaman dan dikubur disana. "Dan sekarang dia sedang dibakar di neraka."

Neraka? Aku bertanya lagi, apa itu neraka? Apa seperti tungku di dapur? Dengan jengkel ibu menjawab kalau neraka itu tempat penuh api, tempat orang-orang jahat disiksa.

"Memangnya kenapa bapak disiksa? Kenapa bapak jahat, bu?"

"Sudah. Pergi sana main!" Aku tidak ingin bermain, ibu malah mengusirku, menyuruhku untuk bermain. Padahal, aku hanya ingin tahu kenapa bapak jahat dan dibakar di neraka? Apa salah bapak? Mungkin karena bapak jahat. Tapi, kenapa bapak jahat?

Jadinya sampai sekarang aku tidak tahu kenapa bapak jahat. Tapi tetap saja, aku rindu sama bapak, aku kangen melihat wajah bapak meski aku tidak pernah melihatnya.

Beberapa hari kemudian aku mulai bertanya pada anak kamar, pada anak kelas yang sering menyanyikan lagu itu. Aku catat liriknya dari suara sumbang mereka yang bau kretek murahan. Lalu ku bawa kemana-mana kertas catatan itu. Lagu itu jadi tampak bagus sekarang, meski masih terkutuk.

Meski nafasmu kadang tersengal

Memikul beban yang makin sarat

Kau tetap bertahan!

Ah, bapak. Andai saja aku bisa melihat wajahmu sekali saja, aku akan bisa mengingat-ingat dan melukiskan kembali wajahmu di langit-langit kamar saat akan tidur, atau dia papan tulis saat sekolah, di dinding-dinding kelas, di lantainya atau dimana saja kapanpun aku mau.

Yang bisa aku lakukan sekarang hanya mengira-ngira bentuk wajahmu. Mungkin oval, mungkin ada kumis tipis disana, atau mungkin rambut ikal hitam yang mulai beruban satu-satu, mungkin juga ada keriput di dahi dan pipi, atau bibir yang hitam karenakeseringan menghisap kretek.

Akhir-akhir ini aku juga mulai sering bersedih, karena sama sekali tidak bisa menggambarkan wajah bapak!

Lagu itu berada di persimpangan antara anugerah dan kutukan. Saat lagu itu mengalun di kepalaku, muncul sebuah rasa hangat yang menggebu dalam dada. Rindu. Dan rasa itu tak pernah gagal menarik garis bibirku hingga menciptakan lengkungan senyum yang menjalar dan memeluk erat jiwaku.

Tapi rasa itu cepat sekali berubah. Mengajakku berlari menelusuri tiap lekuk wajah bapak. Dan rasa hangat itu menyeruak hingga membuat mataku panas. Aku pun mulai sesenggukan dengan air mata yang membanjir hingga mataku sembab.

Aku terus mencari. Dimana bisa kutemukan wajah bapak? Bagaimana hidungnya? Matanya? Bibirnya? Rambutnya? Tubuhnya? Hingga akhirnya pening membuatku menyerah.

Engkau telah mengerti hitam dan merah jalan ini

Keriput tulang pipimu gambaran perjuangan

Bahumu yang dulu kekar

Legam terbakar matahari

Kini kurus dan terbungkuk

Sudah tiga hari aku tidak sekolah, tidak musyawaroh. Atau mungkin seminggu? Entahlah. Jangan tanya aku sedang apa! Aku sedang sibuk sekali di kamar. Sibuk mencari wajah bapak di dalam kepalaku.

Suatu sore aku melihat Sihab datang bersama Alam. Meski Alam jarang ke kamar aku masih ingat, dia adalah tetanggaku yang telah dua tahun lebih dahulu mondok disini. Dulu, kepadanya ibu menitipkan aku untuk ikut ke pesantren. Alam memang baik. Tapi karena dia terlalu sibuk dan beda kamar denganku, kami pun jarang bertemu. Aku sadar mereka berdua masuk ke kamar dan duduk di dekatku sebelum senyuman dan tangisan lagi-lagi silih berganti gara-gara lagu di dalam otakku.

Aku juga tahu, mereka sedang membicarakanku dengan tatapan aneh, tapi aku tidak bisa mendengarnya. Lagu terkutuk itu menguasaiku. Aku kembali tersenyum sambil menerka-nerka wajah bapak yang tampan meski mulai tua, atau mungkin pipinya tembem karena terlalu gemuk, atau jangan-jangan bapak dulu adalah seorang anggota DPR yang berjas rapi dengan rambut yang mengkilap? Ah, entahlah! Dan saat aku mulai menyerah, tangis itu kembali pecah, lagi dan lagi.

Sihab mengusap-usap punggungku yang bergetar tak beraturan. Dalam tangisan yang menyedihkan itu aku mendengar percakapan mereka.

"Aku jadi merasa berdosa. Lihat, dia mungkin sudah gila!"

Namun semangat tak pernah pudar

Meski langkahmu kadang gemetar

Kau tetap setia!

Lagu itu kembali meluncur pelan lewat mulutku saat tangisku mereda. Lihat, bahkan Alam yang baik pun menganggapku gila. Mungkin aku memang sudah gila. Tapi biarlah. Aku lebih memilih jadi gila karena bapak dari pada jadi gila karena orang lain. Toh, dia bapakku, bukan bapakmu atau bapak orang lain!

"Memangnya kenapa bisa begini?"

"Kau tahu lagu apa yang dinyanyikan Tsalis?"

"Ya. Itu lagu lama yang sekarang sering dinyanyikan anak-anak. Titip Rindu Buat Ayah."

Aku masih menggumamkan lagu itu pelan sembari mendengar samar-samar percakapan mereka.

"Nah, itu! Titip Rindu Buat Ayah dan dia tidak punya ayah." Aku menatap Alam yang sedang menatapku iba dan mengabaikkan Sihab yang sedang menatapku dan Alan secara bergantian. Tapi lagu itu masihsajamemenuhi otak dan mulutku.

"Ayahnya kemana?"

"Hem. Ibunya belum pernah menikah. Dia seorang PSK dulu. Jadi, entah siapa ayahnya, tidak ada yang pernah tahu!"

Jelas sekali ucapan Alam sore itu. Tapi, lagi-lagi, lagu itu mengusik otakku. Senyuman dan tangis itu pun kembali datang silih berganti.

Ayah... dalam hening sepi ku rindu

Untuk... menuai padi milik kita

Tapi kerinduan tinggal hanya kerinduan

Anakmu sekarang banyak menanggung beban

[]

NB : Teruntuk sebuah lagu indah yang menelusup ke dalam relung jiwa. Ebit.G Ade

Lika Liku SANTRI (Sudah Terbit!!!) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang