WANITA, AROMA DAN CINTA

171 7 0
                                    

Wanita. Makhluk indah yang begitu menggoda. Itu kata mereka. Dan tak bisa kupungkiri kebenarannya—meski aku terlambat menyadari. Benar. Aku baru sadar akan indahnya mata, hidung, bibir, pipi dan sebagainya lima tahun yang lalu semenjak masuk pesantren ini. Apapun bentuknya, wanita tetap makhluk yang teramat indah. Seketika itu public speaking-ku memudar. Takut-takut takluk dengan keindahan, aku mulai menunduk. Bukankah cinta datang dari mata lantas merosot ke dalam dada? Ah, cukup sekali sajalah bagiku terjatuh dan patah.

Orang bilang jatuh cinta dan patah hati adalah keniscayaan, satu paket. Sayangnya, dalam dongeng kehidupan yang kutulis, cukup sekali saja jatuh cinta—untuk selamanya—tanpa harus patah dan hancur berkeping.

Boleh saja kau sebut aku pengecut. Bagimana lagi? Aku lelaki perasa dan tipe mencintai pecinta. Sekali cinta, ya sudah, susah jadinya. Seperti kisah sepuluh tahun silam saat aku masih bocah ingusan. Bukan, aku tidak trauma dengan masa lalu. Aku hanya tidak ingin memainkan rasa. Tahu sendiri, kan, soal rasa itu teramat rumit. Dan (sekali lagi) aku lelaki perasa.

Sepuluh tahun silam saat dimana putaran roda membawaku tepat di titik puncak. Seorang ketua OSIS, aktivis pramuka, satu-satunya laki-laki yang lolos seleksi English Club dan serentet tetek-bengek yang membuat fotoku dicetak ukuran spanduk dan dipajang di halaman sekolah. (Hah! Kenapa tidak bikin baliho sekalian?) Dan kisah cinta itu pun terjadi.

Rumit sekali untuk dikisahkan. Ada masa panjang yang harus dilalui untuk mencapai "sepakat". Karena terlalu pesatnya perkembangan otakku, masa "sepakat" tak seindah masa PDKT, bahkan lebih pendek. Kupikir, aku bukan sekedar monyet yang dimabuk cinta waktu itu. Tapi, nyatanya aku benar-benar monyet, meski otakku bukan otak monyet. Maka, berakhirlah hubungan itu dengan dua hati yang sama luka. Entah, apa lukanya sedalam lukaku atau tidak. Aku tidak tahu.

Pengalaman adalah guru terbaik. Mahal sekali harganya. Dan aku amat beruntung mendapat kesempatan berperan dalam kisah itu. Aku jadi tahu rasanya jatuh cinta, rasanya patah hati, rasa rindu, cemburu, kecewa, benci, juga luka. Kisah masa lalu itu memberiku sebuah cenderamata sederhana. Sebuah aroma—yang akan membuatku gila. Saat hidungku mencium aroma itu, kenangan masa lalu akan hadir dan mencetak seulas senyum. Kispray Violet. Aroma yang mengajakku kembali mengecap kenangan rasa cinta.

Mungkin aku memang seorang pendendam. Empat tahun berlalu, barulah otak dan hatiku bisa tenang tanpa bayang-bayang. Sesekali tersenyum karena aroma itu. Tak mengapa, meski empat tahun bukan waktu sebentar, setidaknya aku tetap tegar dari semua godaan rasa, menepis cinta, membunuh hati dengan memeluk erat kenangan.

Empat tahun berlalu. Aku mulai berdamai dengan rasa. Meski beberapa kali rasa menemukan jeda, aku tak pernah ingin singgah, karena aku tak ingin bermain. Ya, karena akupun tak mau dipermainkan. Lagi pula, kelanaku masih jauh. Aku yakin, tak akan ada yang sanggup menunggu selama itu. Aku lebih percaya dengan takdir Tuhan, dengan segala skenario-Nya yang lebih indah. Dunia diciptakan berpasang-pasang, bukan? Dan tulang rusuk tak akan tertukar. Aku yakin, saat tiba waktunya, rasaku akan tahu dan dongengku akan jadi nyata. Maka, kembali kukunci hati dalam peti besi, kulempar jauh ke dalam samudra. Biar ombak waktu beriak aroma senja yang membawanya kembali padaku, pada saatnya.

***

"Eh, Rul, ini buku memoriku waktu SMA dulu." Ulil menemukannya dari tumpukan kardus-kardus lamanya. Kubuka-buka sekilas. Foto-foto zaman SMA, mencongkel sedikit ingatanku pada masaku sendiri.

Ulil menyulut sebatang rokok, duduk di sampingku setelah mengencangkan volume salon aktif (salah satu hiburan yang diperbolehkan saat liburan di pesantren). "Gimana?"

Aku menoleh. Dua alis Ulili naik-turun berulang. "Ya, lumayan bagus. Desainnya elegan. Kombinasi warnanya selaras...."

"Heh, bukan itu! Cewek-ceweknya, maksudku. Tertarik, nggak?"

Oh, Ulil menawarkan solusi "kesendirianku". Apa aku tampak seperti pria kesepian yang mengikuti "kontak jodoh" agar segera punya pasangan? "Nggak tertarik."

"Ya ampun. Kriteria kamu seperti apa, sih?" Ulil merebut buku memori dari tanganku, mulai mengenalkan beberapa foto perempuan di sana.

"Wis-wis. Belum waktunya." Aku kembali mengambil buku dan pena, mengabaikkan gerutu Ulil.

***

Liburan hari ke-sekian. Pesantren yang biasanya sesak dengan ribuan santri kini teramat lenggang. Wabah yang menggurita di seluruh penjuru dunia, memaksa santri untuk kembali, menyisakan beberapa saja yang masih bertahan.

Liburan malam ke-sekian. Aku bertandang ke salah satu kamar teman. Jaraknya lumayan jauh. Ya, sekedar menghilangkan jenuh di kamar melulu.

Di teras kamar kami berbincang, ngalor-ngidul, sembari menikmati kopi dan secangkir sepi beriringan musik yang disetel kencang-kencang. Malam beranjak makin tua. Hening sejenak usai tawa yang terbahak. Ada empat orang di sini. Sesaat meresapi lagu yang mengalir damai.

Sial! Entah dari mana, sebuah aroma meraba-raba hidungku, menggelitik perasaanku. Berulangkali rasaku mengeja, menyusuri jejak kedatangannya. Tidak salah lagi, itu adalah aroma, namun bukan dari masa lalu. Ombak waktu kembali menyeret peti hatiku (yang kukunci lima tahun lalu) dengan ragam aroma baru.

Sungguh sial. Kenapa Tuhan kembali mengenalkanku dengan rasa itu? Aku pikir ini (sama sekali) bukan waktu yang tepat, maka, segera kukunci lagi hati rapat-rapat dalam peti besi, bersusah-payah membuangnya ke laut jauh, dan bersiap untuk patah hati (lagi). Sial. Kini bukan cuma satu, tapi ada 1000 aroma baru yang akan menenggelamkanku dalam sejuta rasa, juga patah hati.[]

Kediri, 17 April 2020

Lika Liku SANTRI (Sudah Terbit!!!) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang