“Akhir tahun pulang?”
“Nggak!”
“Nggak kangen?”
“Sudah biasa” Tentu saja kangen, sanggahku dalam hati. “Eh! Jam berapa sekarang?” tanyaku.
“Jam lima”
“Aku pergi dulu!” ucapku seraya berdiri bergegas pergi.
“Kemana?”
“Atap”. Aku pun pergi meninggalkan Fadhil—anak kamar sebelah—sendirian di teras aula.
Begitulah kebiasaanku. Menikmati senja di atap aula lantai tiga. Dan disinilah aku. Memandangi semburat oranye yang menghiasi langit. Gerombolan awan-awan putih dan hembusan semilir angin sore. Menyenangkan. Damai.
Senja selalu punya tempat sendiri dalam hidupku. Memandangnya mengingatkanku akan banyak hal. Bermain di ladang, sepak bola di lapangan, dan kenangan-kenangan indah masa-masa kecilku. Ah! Seolah rumah terasa dekat.
Ini tahun kelimaku berada di pesantren ini. Merantau jauh demi seulas senyum mamak dan bapak. Jika boleh, aku lebih memilih kuliah. Tapi, kalau ini kemauan mereka ya sudahlah!
Ah! Mamak, bapak. Sejatinya anak ini tak ingin jauh darimu. Anak tak tahan akan rindu yang menyiksa kalbu!
Duduk di tepian atap sebelah barat. Angin berhembus lembut. Sore yang indah. Namun, sore itu pula kabar itu datang. Sepucuk surat bertuliskan alamat rumahku. Mungkin sudah seminggu lalu dikirim. Ada beberapa lembar uang kertas dan selembar kertas lusuh dengan tulisan tangan bapak.
Imam, mamakmu sakit. Cepatlah pulang!
Bapak.
Jarang sekali bapak menulis surat. Biasanya mamak yang menulis surat setiap mengirim wesel. Mamak sakit apa sampai-sampai bapak yang menulis surat?! Hari itu juga aku izin untuk pulang. Entah berapa hari, entah sampai kapan. Mamak, tunggu Imam!Stasiun lenggang. Setelah shalat isya’ aku duduk di salah satu kursi panjang. Menunggu kereta. Tiket sudah di tangan.
Mudah saja untuk pulang. Naik satu kereta sudah cukup. Namun butuh waktu satu dua hari untuk sampai di stasiun daerahku. Lalu naik ojek menuju rumah.
Aku masih menunggu. Menatap kosong rel kereta yang remang-remang tertimpa cahaya lampu belasan watt. Angin malam berdesir. Dingin. Benar-benar dingin. Bercampur rasa khawatir yang terus menggelayut di benakku. Ada apa dengan mamak sampai-sampai menyuruhku pulang?! Bagaimana keadaan mamak sekarang. Aku harap kereta segera datang.
Pukul 21.30. aku berada di dalam kereta. Malam semakin dingin. Kurapatkan tubuh ke dinding kereta. Kukenakan penutup kepala jaketku. Sebentar saja aku sudah terlelap setelah memikirkan keadaan mamak di rumah.
Kereta terus melaju membelah dinginnya malam.
Pukul 05.00. Aku terbangun. Kereta baru saja berhenti di kota. Pemberhentian pertama dan terakhir sebelum berhenti di daerahku. Aku turun.
Kubasuh muka dengan air wudhu. Berharap bisa mengembalikan kesadaranku sepenuhya. Semoga juga bisa mengurangi kekhawatiranku.
“Mau sholat, Mas?”
Aku menoleh. Seorang laki-laki menyapaku. Gelang rantai, kalung rantai dan satu anting menghiasi telinga kiri. Ada sedikit tato di lengan kanannya.
“Iya!!” jawabku akhirnya.
“Ayo di-imami, Mas!”
“Eh—Iya!”
Kami sholat subuh berjama’ah. Hanya berdua. Setelah bersalaman aku melanjutkan wirid. Usai sholat aku mencari sesuatu yang bisa dimakan. Aku lapar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lika Liku SANTRI (Sudah Terbit!!!)
Short Story[SUDAH TERBIT] Cek di Tokopedia, Bukalapak dengan judul yang sama. Maaf, sebagian cerita sudah aku hapus. Jangan lupa order ya 😅😅😅 ................. Kumpulan cerita pendek bertema pesantren. Enggak semua membahas religi. Ada cinta, horor, dan la...