10

1.1K 216 6
                                    

"Lo semalam tidur jam berapa sih? Kantung mata lo makin tebel aja." Andin mendekatkan wajahnya pada Keana yang melamun. Sadar kalau cewek itu hanya diam saja, Andin meletakkan punggung tangannya di kening Keana. "Gak panas, ah!"

Keana memandangnya datar. "Yang bilang gue sakit siapa?"

"Gak ada sih," Andin bergidik kecil. "Tapi lo diem aja dari tadi. Kenapa?"

Keana merosotkan bahunya, sambil berdesah lesu. Wajahnya yang pucat dan rambutnya yang berantakan pasti akan mengira dia sakit. Tapi, Keana sama sekali tidak sakit.

Dia sehat wal afiat, kok. Andin saja yang lebay.

"Lo tau kan gue semalam nginep di rumahnya Kai?" tanya Keana, memastikan. Melihat anggukan Andin, dia melanjutkan, "Gue tidur di kamarnya."

"A-APA? LO GILA, NA?! BERDUA SAMA KAI DI KAMAR?!"

Dengan cekatan Keana membekap mulut Andin yang masih mengoceh tidak jelas. Bukan apa-apa, mereka tuh lagi duduk di halaman belakang rumah Keana dan suara Andin itu kencangnya bukan main.

Keana takut kalau tetangga yang lain dengar terus mikir negatif, siapa yang rugi? Keana juga kan. Yaa, Kai juga sih. Tapi, dia gak mau mikirin cowok itu, ah! Sumpah kesel banget Keana sampai sekarang.

Andin menepis tangan Keana dari mulutnya. Menarik tisu dan mengelap permukaan bibirnya, dia mengernyit. "Lo abis megang apaan sih? Bau tai!"

"Anying!" Keana melotot tak terima, Andin ketawa ngakak. "Oh ya, abis berak sih sebelum lo ke sini, Din."

Giliran Andin yang melotot tajam. "Mau mati, hm?"

"Hehe..."

"Nyengir lo jelek." Andin mengambil biskuit cokelat di piring lalu dimakannya sambil menatap Keana yang memeluk cushion sofa. "Lanjutin, deh."

"Sikap dia semalam tuh aneh, Di. Gue kira, dia bakal bodo amat karna gue ketinggalan kunci dan mau bawain tentengan dari Mingyu sampe rumah. Yaa masih datar sih anaknya, tapi gue kira dia udah melunak ama gue."

"Lo kayak gini gara-gara dia bersikap baik ama lo?"

Keana menggeleng. "Bukan."

"Terus?"

Keana menghela napas panjang. "Semalam gue tanya kenapa dia gak kasih tau gue semalam sebelum dia pindah. Gue bilang, segitu bencinya dia sama gue. Dan lo tau jawabannya apa?"

"Gak."

"Dia sama sekali gak benci sama gue, Din!"

Alis Andin naik satu, heran. "Terus? Bagus dong dia gak benci sama lo!"

Kini, Keana menggeleng cepat. "Gue ngiranya itu, Di! Tapi gue dijatuhin lagi setelahnya," katanya lesu.

Andin menggeram kecil. "Ya terus apaan dong, Jubaedah? Jangan bikin gue gregetan deh!"

Keana menarik napasnya dalam sebelum mengeluarkan satu tarikan napas. "Dia gak seneng sama gue. Dia jijik sama gue. Katanya, gue ngeselin banget, jelek, idiot, bodoh!" seru Keana menggebu-gebu mengingat rentetan kata yang keluar dari bibir sialan Kai semalam.

Andin membuka mulutnya, melongo mendengarnya. "Serius dia ngomong gitu?"

"Iyaa!" sahutnya tak kalah keras. "Ya ampun, segitu burukkah gue di mata dia, Di? Emang gue kayak gitu, ya? Yang Kai ucap ke gue?"

"Kata siapa?" Andin menyahut sewot.

"Kai."

"Ya itukan Kai! Bagi gue, ortu lo, adik lo, temen-temen lo, lo gak kayak yang Kai bilang, ah! Matanya aja yang katarakan. Enak aja sembarangan ngatain orang kayak gitu. Cih!"

Keana mengangkat bahunya, pasrah. Masih kepikiran betul loh diingatannya gimana raut dan nada Kai ngomong kayak gitu.

Serius, sakit hati Keana dengernya!

"Tapi itu bukannya sama aja ya dia benci ama gue?" Keana kembali bertanya, menatap melas Andin yang mengerutkan dahinya.

"Beda, Na. Kalo pun benci, ngapain dia repot-repot bawain lo tentengan sama bawa lo ke rumah dia? Ngapain dia biarin dirinya tidur di sofa sedang lo di ranjangnya?"

"Iya ya, beda." Keana mengangguk setuju. Detik kemudian, dia menoleh lagi pada Andin. "Terus kenapa dia malah ngatain gue kayak gituuu? Makan ati tau gak!"

Andin malah menunjukkan cengirannya bikin Keana merinding. "Kangen ngatain lo kaliii. Kan udah tujuh taun gak ketemu."

Keana langsung menjitak kepala Andin kesal. "Mata lo kangen!"

Andin ketawa melihat raut kesal temannya. Andin menoleh ke samping, melirik seseorang yang gak lama berdiri di sana.

"Gue pipis bentar, ye?"

"Hm."

Senyum-senyum ninggalin Keana yang memanyunkan bibirnya, Andin berlalu dari sana. Begitu melewati orang yang berdiri di sana tadi, Andin sempat berbisik, "Lagi sensi tuh!"

Keana tidak tahu kalau Andin ternyata bukannya pipis malah pulang ke rumahnya. Dia sama sekali gak ngeh, karena pikirannya masih ada di kejadian semalam.

Memikirkannya aja dia mendengus kesal.

"Awas aja kalau ketemu. Gue jambak tuh rambutnya!"

"Sini jambak rambut gue coba."

Keana tersentak lalu noleh ke belakang. Matanya membulat melihat sosok Kai tiba-tiba ada di belakangnya dengan satu paper bag di tangannya.

Dan ya, tatapan khasnya itu bikin Keana kesal setengah mampus.

"Kok diem? Katanya mau jambak gue," kata Kai, menyadarkan Keana dari lamunannya.

"Kenapa bisa di sini? Andin mana? Mama gue mana?"

Kai mendengus. Tanpa jawab rentetan pertanyaan Keana, Kai menaruh paper bag itu di paha Keana.

"Baju seragam lo tuh ketinggalan." Kai menyimpan kedua tangannya ke saku hoodie hitam. "Udah gue cuci."

Keana mengeluarkan seragamnya dan benar saja, bajunya sudah bersih dan wangi. Mendongak, alisnya bertautan melihat Kai masih di sana.

"Apa? Lo mau denger ucapan makasih dari gue?" sinisnya.

Kai mengangkat bahu tak acuh. "Sama-sama," balas Kai tak kalah ketus. Kemudian matanya menatap tepat ke iris cokelat cewek itu.

"Btw, lo malah keliatan makin jelek kayak gitu. Ih, jijik!"

Keana makin melotot mendengarnya dan menatap kepergian Kai tanpa pamit. Napasnya seakan berhenti otomatis karena serangan dadakan itu.

Keana jadi makin yakin untuk mengibarkan bendera perang ke cowok itu. Awas aja, lihat nanti balasan dari Keana.

"Dasar jelangkung!"

Mouth | Huening KaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang