BAGIAN SATU
•••
Ya Allah...
Mampukah aku ikhlas, merelakan dia yang aku cinta?
Bantu aku ya Allah...
Tuntun aku ya Allah...
Didik aku ya Allah...
Untuk sabar menerima kenyataan.
Untuk bisa melangkah melanjutkan hidup.
Untuk ikhlas akan semua takdir-Mu.
Engkau adalah sandaran terbaikku ya Allah.
Maka, peluklah aku... dengan cinta dan kasih sayang-Mu.
Rangkul aku dengan rahmat serta hidayah-Mu.
Genggam aku, dengan kekuatan sabar dan tabah dalam menjalani setiap cobaan dan takdir yang Engkau berikan.
Kabulkan doa yang kulangitkan ini,
Nyatakan harapan serta anganku ini,
Hadirkan segala bentuk keinginanku ini,
Aku menghentikan kegiatan menulisku saat mendengar suara hujan. Segera aku berdiri dan berjalan kearah jendela kamar. Menatap hujan yang perlahan-lahan menjadi deras. Apapun hal tentang hujan, aku suka. Kata orang, hujan itu pembawa rindu, dan aku setuju. Hujan tidak hanya membuat genangan tapi juga membawa kenangan.
Pikiranku berkelana pada masa lalu, masa dimana aku dipertemukan dengannya. Ya Allah, hatiku terasa sakit, saat ingatanku mengarah pada memori yang kulalui bersama dia, tanganku gemetar saat wajahnya dapat aku lihat di pelupuk mata, dan air mataku perlahan mengalir. Ya Allah, aku merindukannya.
5 tahun yang lalu.
Universitas Peduli Bangsa.
Merupakan universitas tempat aku belajar, dan merupakan satu-satunya universitas yang memiliki jumlah murid yang banyak. Disinilah tempat aku menuntut ilmu, menggeluti kuliah di jurusan Ekonomi. Lebih tepatnya, disinilah semuanya dimulai.
Namaku Ayas Syaqila Haura. Hampir semua orang memanggilku Ayas.
"Ayas!" Panggil seseorang. Sambil tersenyum kulambaikan tangan kearahnya. Dengan mengunakan tongkat, gadis itu melangkahkan kakinya menuju tempatku berdiri.
Dia Ima, teman sekaligus sahabatku.
Ima berasal dari keluarga berada, dia cantik dan pintar. Dulu, Ima adalah bintang kampus, dia dikenal oleh banyak orang. Sampai sebuah kecelakaan yang menimpa Ima membuat semuanya berubah. Setelah kecelakaan itu, Ima tidak bisa berjalan dengan normal, gadis itu harus menggunakan tongkat atau kursi roda jika ingin berjalan. Banyak cacian serta makian yang orang lontarkan pada Ima hanya karena kecacatannya. Seringkali aku bertanya, kenapa Ima bisa sekuat dan setegar itu, menghadapi hidupnya?"Assalamu'alaikum," salam Ima.
"Waalaikumsalam." Jawabku.
"Sudah menunggu lama?" tanya Ima.
"Aku baru sampai sepuluh menit yang lalu," jawabku.
"Maaf yah, aku telat." Sambil mengangguk, aku tersenyum kearahnya.
"Iya Ima nggak pa-pa."
"Mau ngerjain tugas dimana?" Tanya Ima. Rencananya, hari ini aku dan Ima akan mengerjakan tugas kuliah bersama.
"Gimana kalau di kafetaria aja, biar sekalian makan?" Usulku, yang langsung disetujui oleh Ima.
Kami berjalan berdua menuju kafetaria kampus. Sepanjang jalan kami saling bercerita dan tertawa bersama.
"Ayas!" Saat mendengar namaku dipanggil, langkahku dan Ima otomatis terhenti. Aku berbalik, mencari asal suara yang ternyata milik seorang pria yang berbaju hitam dengan perawakan tinggi dan berambut gondrong. Untuk memastikan, aku menunjuk diriku sendiri.
"Iya, Lo! Jujur yah Lo itu cantik dan hampir sempurna, kok mau sih temenan sama orang cacat? Nggak ngasih untung apa-apa yang ada nyusahin." Saat pria berbaju hitam mengatakan itu, semua orang tertawa mendengarnya. Sungguh, dia adalah pria yang tidak tahu sopan santun!
Aku sudah bersiap untuk membalas kata-katanya, namun urung saat Ima menarik lenganku. "Udah, nggak pa-pa." ujar Ima.
"Kamu nggak sakit hati dia bilang kayak gitu ke kamu Ma? Dia sudah merendahkan harga diri kamu." Ima menggeleng aku tahu Ima memang baik, tapi aku terlanjur kesal, pria itu harus diberi pelajaran.
"Ayas sudah, aku nggak apa-apa." Tanpa menghiraukan bujukan Ima, aku kembali melanjutkan langkah ke arah pria berbaju hitam.
"Dengarkan baik-baik. Setiap orang berhak berteman dengan siapa saja, nggak ada larangan untuk itu, tapi setiap orang tidak berhak menghina orang lain. Kenapa memangnya kalau saya berteman dengan Ima, apakah merugikan anda?!"
"Ayas, sudah!" Suara Ima memperingatiku, aku sadar karena saat ini aku sedang menjadi pusat perhatian seluruh Mahasiswa Kampus.
"Kayak nggak tahu aja Gan, Ima kan anak orang berada, palingan juga Ayas temenan sama dia buat jadi dompet berjalannya, hahaha." Ucap salah seorang yang lain. Refleks, aku merebut minuman salah seorang mahasiswa yang ada disebelahku dan melemparkannya kearah wanita itu.
Wanita itu terlihat marah, tapi aku tidak perduli. "Tahu apa kamu tentang hidup saya. Toh, Ima yang berteman dengan saya bukan anda, jadi yang berhak memberikan tanggapan seperti apa saya, itu Ima, bukan anda!" Setelah mengatakan itu aku berjalan ke arah Ima, menghiraukan hardikan wanita itu.
"Dasar gadis miskin! Udah miskin temenan sama orang cacat, cocok!"
Aku mencoba menutup telinga, terserah mereka mau bicara apa, aku tidak perduli."Ayo Ma, kita ke kafetaria." Ima tersenyum, sambil mengangguk. Aku merangkul bahu Ima guna membantunya berjalan.
•••
KAMU SEDANG MEMBACA
Sepenggal Kisah Hijrah (Selesai)
Short StoryCinta. Satu kata yang memiliki beribu makna. Kata orang, hidup tidak akan sempurna saat kita belum menemukan cinta. Kurasa mereka keliru, walau tidak sepenuhnya. Cnta tidak perlu kita cari, karena sudah hadir sejak kita lahir, yaitu rasa cinta yang...