Bagian Tujuh

43 5 0
                                    

Bagian Tujuh

•••

"Hidup itu tentang perpindahan. Setiap muslim haruslah berpindah, dari kemunkaran menuju kebermanfaatan, dari keburukan menuju kebaikan, intinya berpindah menuju hal yang baik. Allah subhanahu wa ta'ala memberikan kepada setiap hamba-Nya kemampuan disertai batasnya.

"....Maka, setiap orang berhak memiliki caranya sendiri untuk terus memperbaiki diri, tergantung pada kemampuannya masing-masing. Tentunya harus tetap bertumbuh, hingga di akhir perjalanan akan terlihat grafik yang terus meningkat menjadi lebih baik." Suara Ustad Fariz menggema diseluruh penjuru masjid.

Saat ini, aku sedang mengikuti sebuah kajian disebuah masjid dekat kampus. Sebenarnya aku malas, tapi Ima tetap kekeuh memaksa.

"Tak perlu jauh-jauh membandingkan diri sendiri dengan orang lain. Tak perlu menjadi lebih baik dibandingkan orang lain, cukup menjadi lebih baik dari diri di masa lalu. Sesungguhnya Allah akan bersama dengan orang-orang yang senantiasa 'berpindah' menjadi lebih baik. Semoga kita termasuk ke dalam orang-orang yang senantiasa berpindah menjadi versi muslim terbaik sesuai sifat dan tuntunan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Aamiin Allaahumma Aamiin. Cukup sekian dari saya, mohon maaf apabila ada kesalahan. Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh."

"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh," huft..akhirnya selesai. Mataku sudah berat rasanya, sejak tadi aku tak henti-hentinya menguap.

"Ayas, kamu dengerin ceramah Ustadz Fariz nggak?" Ima bertanya dan kujawab dengan anggukan kepala.

"Aku dengerin, kok. Kan kata kamu yang penting ikut aja dulu, saat kita sedang berada di majelis ilmu dengerin baik-baik, walaupun nggak ngerti apa yang disampaikan. Dengan begitu, Insyaa Allah kita akan mendapatkan pahala dan keberkahan didalamnya. Aku sudah melakukannya barusan." Ima tersenyum lebar dan langsung memelukku.

"Masyaa Allah.. sahabatku ini. Sudah cantik, sholehah lagi."

"Sekarang, sahabat kamu yang cantik dan sholehah ini sedang sesak napas, jadi aku mohon lepaskan pelukannya, aku pengap ini," protesku, saat Ima tak kunjung melepaskan pelukannya.

Ima segera melepaskan pelukannya dan nyengir."Hehe afwan, afwan. Oh iya, gamis itu untuk kamu saja yah."

"Lagi?" Aku menatap Ima meminta penjelasan, karena semenjak aku sering mengikuti kajian dia selalu meminjamkan padaku gamis miliknya, setelah itu dia berikan padaku.

"Perasaan baru kemarin deh kamu kasih aku gamis. Nggak mau ah, lagian dirumah aku udah banyak banget baju gamis dari kamu Ma,"

"Ih nggak pa-pa. Kamu pake aja yah." Ucap Ima.

"Ini tuh kepanjangan Ima, aku keliatan kayak ibu-ibu nantinya."

"Eggak kok, kamu lebih cantik memakai pakaian seperti ini, dibandingkan dengan celana, kaos panjang dan kerudung pashmina yang sering kamu pakai."

Aku memang sering menggunakan pakaian seperti itu, walaupun jarang, tapi Ima pasti akan langsung marah saat aku memakainya. Katanya, pakaian seperti itu tidak sesuai dengan syariat islam.

Daripada membuat Ima sakit hati, aku turuti saja keinginannya. "Yasudah, terimakasih."

"Sama-sama Ayas. Jangan lupa dipakai yah?"

"Iya. Sudah yuk, sebentar lagi kita ada kelas 'kan?"

Ima melihat kearah jam tangan yang dikenakannya, "iya, jam 10. Sekarang masih jam 9, masih ada waktu luang satu jam, gimana kalau kita makan dulu? Nanti aku yang traktir deh."

"Nggak usah Ima,"

"Ih pokoknya aku yang traktir, titik."

Tolong garis bawahi satu hal tentang Ima, dia itu gadis yang paling keras kepala yang aku kenal.

"Yasudah yuk!" Aku segera berdiri dan mengambil kursi roda untuk Ima. Karena Minggu lalu dokter sudah melarang Ima menggunakan tongkat, saat ditanya apa alasannya Ima hanya tersenyum sambil berkata, "mungkin ini takdir yang Allah gariskan untukku." Tapi tetap saja, semangat Ima dalam menuntut ilmu tak pernah berhenti.

Aku kagum padanya, dia wanita terkuat yang aku kenal. Dia tidak pernah mengeluh atau menangis, dia selalu tersenyum dan bersikap baik pada setiap orang.

•••

Sepenggal Kisah Hijrah (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang