Bagian Sebelas

36 4 0
                                    

Bagian Sebelas

•••

Satu Minggu sejak kejadian itu aku tidak masuk kerja karena Restoran tutup. Apa lagi alasannya? Tentu saja, karena sang pemilik restoran akan menikah, dan aku bersyukur, dengan begitu setidaknya aku memiliki rentang waktu untuk menyiapkan hatiku. Selama satu Minggu ini aku sudah mencapai beberapa tips move-on.

Konyol memang, tapi itu termasuk salah satu usahaku untuk bisa melupakan Kak Hafidz. Aku berbaring dikamar sambil menatap langit-langit kamar. Besok adalah hari pernikahan mereka dan sampai hari ini aku menghindari mereka.

Aku mematikan ponsel dan akan langsung pergi jika Kak Hafidz ataupun Ima mengunjungi rumahku. Aku bangkit dan mengambil kertas yang berisi list move-on yang aku buat.

1. Sholat tepat waktu.

2. Perbanyak membaca Al-Qur'an.

3. Fokus belajar dan bekerja.

4. Jatuh cinta lagi pada Allah.

5. Rutin mengikuti kajian.

Semuanya sudah aku lakukan, tapi semuanya sia-sia, sampai saat ini rasaku pada Kak Hafidz tidak berkurang sedikitpun, hanya saja aku sudah bisa ikhlas menerima keadaan.

Tok tok tok

Suara ketukan pintu menyadarkan aku dari lamunan.

"Ayas?" suara Ibu terdengar dari luar.

"Iya Bu." Aku segera menuju pintu dan membukanya. "Ada apa?"

"Ibu mohon padamu, apapun masalahnya selesaikan sekarang. Jangan menghindar dan lari dari masalah, hadapi dan atasi."

Aku mengerti arah pembicaraan Ibu, pasti ada Kak Hafidz berkunjung jika tidak, mungkin Ima.

"Ibu yakin Ayas pasti bisa menghadapi semuanya."

Aku mengangguk, kemudian melangkahkan kaki menuju teras depan.

Bismillah, kamu pasti bisa Ayas!

Saat sudah didepan aku melihat Kak Hafidz langsung berdiri dan menatapku.

Ya Allah aku merindukannya.

"Alhamdulillah kamu mau keluar, kamu baik-baik saja?" Tanya Kak Hafidz.

Baik-baik saja? Tentu saja jawabannya tidak.

"Iya," aku tidak baik-baik saja. Lanjutku dalam hati.

"Maafkan aku dan Ima jika karena pernikahan ini hatimu terluka." Ucap Kak Hafidz.

Aku menggigit bibir bawahku, guna menahan isakan yang akan lolos dari bibirku. "I-iya Kak, aku sudah ikhlas kok,"

"Ini undangan untukmu, aku dan Ima akan sangat bahagia jika kamu berkenan hadir di acara pernikahan kami."

"Insyaa Allah, aku akan hadir." Jawabku.

"Alhamdulillah, kalau begitu aku permisi dulu, masih banyak urusan yang harus aku selesaikan. Tolong sampaikan salamku untuk Ibumu."

"Iya,"

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam," aku menatap kepergian Kak Hafidz dengan pandangan kosong. Setelah mobilnya tidak terlihat, aku kembali menangis.

Bimillahirrahmanirrahim.

Aku harus bisa menghadapi kenyataan. Walau bagaimanapun Ima adalah sahabatku dan Kak Hafidz adalah atasanku. Jadi, tidak ada salahnya 'kan jika aku menghadiri pernikahan keduanya?

•••

Kugenggam tangan Ima sambil tersenyum hangat kepadanya.

"Bismillah Ima," Ima mengangguk mantap, kulihat dia menghembuskan napas berat, mungkin merasa deg-degan.

"Sekali lagi terimakasih sudah mau hadir di pernikahan ku Ayas, maafkan aku."

"Sudah jangan kembali dibahas, aku tidak mau kamu menangis, nanti make-up yang kamu pakai bisa luntur."

Sebenarnya bukan hanya itu alasannya, aku hanya tidak ingin melihat Ima bersedih menjalankan pernikahan ini karena aku.

Diluar masih terdengar lantunan surah Ar-Rahman yang Kak Hafidz lantunkan. Masyaa Allah, jujur hatiku sedikit bergetar saat mendengar suaranya.

"Alhamdulillah, sebentar lagi dia akan mengucapkan Akad Ima," aku menjadi antusias sendiri, sedangkan Ima hanya tersenyum sambil menggenggam tanganku erat.

Berbanding terbalik dengan hatiku, sangat jauh dari kata baik-baik saja. Aku kembali tersenyum kearah Ima, aku meliha wajah Ima yang berubah menjadi pucat dan keringat dingin bercucuran di wajahnya.

"Ima, kamu baik-baik saja?" Lalu tiba-tiba hidung Ima mengeluarkan darah, Ima mimisan!

"Allahuakbar, Ima kamu kenapa?!"

Aku segera mengambil tissue dan membersihkan darah yang mengalir dari hidung Ima.

"Saya terima nikahnya Nurima Fatwa binti Dani Azar dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!" bersamaan dengan itu, perlahan mata Ima tertutup.

Aku menangis, saat itu aku sadar, ketakutan jika harus kehilangan Ima jauh lebih menyakitkan dibandingkan dengan rasa sakit saat aku harus kehilangan Kak Hafidz.

•••

Sepenggal Kisah Hijrah (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang