Bagian Empat

46 6 0
                                    

Bagian Empat

•••

Menjadi seorang Analis Ekonomi adalah cita-cita seorang Ayas Syaqila Haura. Iya itu citaku, langkah demi langkah sudah aku lewati dan jalan demi jalan sudah aku lalui. Terlahir di keluarga yang sederhana bukanlah suatu alasan aku mundur, justru membuat tekadku menjadi lebih besar untuk bisa sukses dengan caraku sendiri.

Aku anak tunggal dalam keluarga, dan di dunia ini aku hanya memiliki seorang Ibu, karena Ayah sudah pergi meninggalkan dunia saat aku berumur tujuh belas tahun.

"Pak, di depan kiri yah." Inilah keseharianku, pulang kuliah dan bekerja paruh waktu.

"....Ini pak, makasih." Setelah menyerahkan uang lima ribu pada supir angkut aku berjalan menuju tempat kerja.

Setelah mengganti pakaian kerja dan bersiap, aku merapihkan barang disekitar meja kerja.

"Ibu saya sakit apa dok?"

Dokter yang bernama Ridwan itu menghela napas, "Beliau terkena penyakit gagal ginjal yaitu penurunan fungsi ginjal yang menetap selama tiga bulan. Kondisi ini ditandai beberapa gejala, seperti sesak napas, mual, dan kelelahan."

Rasanya dadaku sesak saat mendengar Dokter Ridwan mengatakan itu.

"Ibu Almira harus menjalani Cuci darah atau hemodialisis."

"Apa dengan cuci darah Ibu saya bisa sembuh?"

"Bergantung pada kondisi masing-masing pasien. Dalam beberapa kasus, cuci darah pada kasus gagal ginjal sementara atau yang belum memasuki masa akut bisa dihentikan saat ginjal sembuh dan sudah dapat melakukan fungsi yang seharusnya."

Sejak saat itu aku bertekad, untuk bisa menyembuhkan penyakit Ibu. Setelah pulang kuliah aku mencari lowongan pekerjaan, dan takdir menuntunku ke tempat ini.

"Kebetulan saya sedang mencari resepsionis baru, kamu bisa bekerja disini, tapi dengan satu syarat."

"Apapun syaratnya akan saya lakukan Pak Anton."

Saat itu aku terlampau bahagia karena diterima menjadi karyawan paruh waktu namun mendapatkan gaji yang lumayan besar.

"Kamu tidak boleh mengenakan pakaian seperti ini, cukup gunakan celana jeans, baju panjang dan kerudung seadanya ."

Memang, pada saat itu aku menggunakan setelan gamis yang lumayan panjang.

Saat itu alasan aku menyetujuinya semata-mata hanya karena Ibu, tidak ada yang lainnya. Aku hanya ingin Ibu bisa secepatnya cuci darah agar bisa sembuh.

Aku tersadar dari lamunan saat seseorang memanggil namaku. Aku berdiri, dan kudapati Mbak Nila disana. Dia adalah sekertaris Pak Anton, pemilik Hotel.

"Iya Mbak?"

"Kamu dipanggil keruangan Bapak."

"Sekarang Mbak?"

"Iya, biar aku yang gantiin kamu."

"Makasih yah mbak, aku ke ruangan Bapak dulu."

Mbak Nila mengangguk, lalu aku berjalan menuju keruangan Bapak Anton.

•••

Sepenggal Kisah Hijrah (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang