Bagian Tigabelas

51 5 0
                                    

Bagian Tigabelas

•••
Kamu itu seperti bulan ditengah gelapnya malam, membawa cahaya serta kehangatan dalam duniaku yang kelam.
-Ayas-
•••

"Jika aku pergi, menikahlah."

Aku terkejut, begitupun dengan Kak Hafidz.

"Terimakasih sudah hadir menjadi pelengkap imanku Mas Hafidz dan terimakasih sudah menjadi sahabatku Ayas."

Kak Hafidz memutari kursi roda dan berjongkok dihadapan Ima.

"Jangan pernah bersikap lemah seperti ini kamu harus yakin bahwa kamu bisa sembuh. Aku berjanji jika memang takdir memisahkan kita aku akan berusaha ikhlas. Dan akan menikahi Ayas, aku juga berjanji akan mencintainya seperti aku mencintaimu, itukan yang kamu inginkan?"

Ima menggenggam tangan Kak Hafidz. "Terimakasih,"

"Kamu juga harus berjanji satu hal untukku." Ucapku.

"Apa?"

"Berjanjilah untuk sembuh, demi aku." Karena yang kutahu, kehilangan Ima jauh lebih menyakitkan dibandingkan apapun.

Aku tidak berharap menikah dengan Kak Hafidz karena jika itu terjadi maka aku harus kehilangan Ima.

Ima menatapku sambil tersenyum, sebuah senyuman termanis yang pernah aku lihat, "aku berjanji."

"Mas, aku ingin satu hal lagi, bisakah kau mengabulkannya?"

Aku kesal, kenapa Ima terus menginginkan permintaan, seakan-akan dia akan pergi?

"Iya, apapun untukmu." Ucap Kak Hafidz.

"Aku ingin melihat senja bersama kalian." Kak Hafidz mengangguk dan mendorong kursi roda Ima ke arah taman rumah sakit. Aku mengikuti keduanya.

Di bawah langit senja aku, Ima, dan Kak Hafidz sama-sama tersenyum. Ima menggenggam tangan kiriku dan dia juga menggenggam tangan kanan Kak Hafidz, aku menoleh ke arah Ima dan hal yang sama dilakukan oleh Kak Hafidz.

"Aku bersyukur Allah mempertemukan aku dengan kalian." Ucap Ima.

Aku tersenyum hangat ke arah Ima, "Seharusnya aku yang berkata seperti itu, karena aku orang yang sangat beruntung bisa mengenal kamu. Kamu itu seperti bulan ditengah gelapnya malam, membawa cahaya serta kehangatan dalam duniaku yang kelam."

Kami menatap langit yang perlahan berubah menjadi gelap, dan aku merasakan genggaman tangan Ima perlahan terlepas.

Aku terpaku, saat melihat mata Ima terpejam dengan senyuman yang tetap melekat diwajah cantiknya.

Seluruh tubuhku bergetar, dan kulihat Kak Hafidz bersimpuh di hadapan Ima. Aku tahu dia menangis, walaupun tidak ada air mata yang dia keluarkan.

Saat itu aku sadar, jika Ima tidak menepati janji yang dibuatnya. Ima pergi, dan tidak akan pernah kembali.


























Pipiku sudah basah dengan linangan air mata, bersamaan dengan air mata yang terus mengalir badanku terkulai lemas, badanku luruh diatas dinginnya lantai.  Tangisanku tak bisa berhenti.

Ya Allah... Lahaula walaa kuwata ila billah...

"Astaghfirullah, Ayas.. kamu kenapa?"

Aku mendongak, sambil sesenggukan, aku menjawab. "A-aku.. ak-aku.."

Hanya itu, rasanya lidahku tertahan, sulit sekali untuk mengeluarkan kata.

Kak Hafidz menghampiriku, dia berjongkok dihadapanku, setelah itu yang kurasakan adalah pelukan hangat darinya.

"Istighfar Ayas..."

"Astaghfirullah.. astaghfirullah..."

Dia masih tetap menenangkan aku, dengan mengusap punggungku.
Kak Hafidz menatapku lekat,"apapun yang terjadi padamu, aku harap itu bukan hal yang buruk."

Yang bisa kulakukan hanya menganggukkan kepala. "Sekarang kamu ambil wudhu, mau aku antar?"

Lagi, aku mengangguk.

Setelah mengambil air wudhu tangisanku mereda, aku dituntun Kak Hafidz untuk duduk dipinggiran ranjang. "Lebih baik kamu istirahat, waktu ashar masih sekitar dua jam lagi,"

Aku menggeleng, "Kak?."

"Iya? Apa yang kamu inginkan, katakan.."

"Aku ingin menemui Ima." Kak Hafidz menatapku dengan lekat, raut wajah bertanya yang tadinya kudapati hilang, ia pasti tahu penyebab utama aku menangis.

"Baiklah mari kita menemui Ima, tapi kamu harus berjanji satu hal."

"Berjanji apa?"

"Jangan melakukan hal yang sama seperti tadi, kamu membuatku khawatir. Jika kamu merindukan Ima, kita bisa menemuinya."

Aku tersenyum lalu kugenggam tangannya. "Maafkan aku Kak, sudah membuatmu khawatir. Aku tidak akan mengulanginya."

Dia menggenggam tanganku,"Baiklah, ayo kita berangkat."

Nurima Fatwa binti Dani Azar.

Cukup lama kupandangi nisan itu. Susah payah aku menahan air mata, namun gagal.

Apapun hal tentang Ima aku selalu lemah. Ima, ijinkan aku menangis, untuk terakhir kalinya.

"Ima kamu tahu tidak, kalau sebentar lagi kamu akan menjadi seorang tante?" Aku memulai cerita, dengan diiringi tawa dan air mata.

"Sayang..." peringat Kak Hafidz.

"Sekali ini saja Kak, ijinkan aku menangis."

Kak Hafidz ikut berjongkok di sebelahku, tangannya merangkul pundaku.

Dia memenuhi janjinya pada Ima. Setelah enam bulan kepergian Ima dia menikahiku, walaupun butuh waktu hampir 2 tahun untuk dirinya bisa mencintai aku seperti dia mencintai Ima.

"Aku tidak menjamin bisa mencintaimu, karena cintaku untuk Ima akan selalu ada. Di dalam ruang hatiku akan selalu ada namanya, tapi aku berjanji akan secepatnya mencintaimu. Kamu akan mengisi hatiku sepenuhnya. Percayalah, aku akan mencintaimu, Ayas Syaqila Haura, istriku."

Perkataan Kak Hafidz setelah mengucapkan Akad. Selalu menguatkan aku untuk bertahan disampingnya. Hingga saat ini dia benar-benar mewujudkan janjinya.

Aku melanjutkan ceritaku, sambil mengelus perut yang sudah membesar.

"Kata dokter, dia seorang perempuan, nanti jika dia sudah lahir akan kunamai dia namamu, boleh tidak?"

"....Aku akan mendidiknya dengan baik, aku ingin dia memiliki kepribadian sepertimu Ima." Hanya itu harapanku, aku ingin Allah menghadirkan sosok Ima dalam putriku.

Teruntuk Nurima Fatwa....

Kamu adalah sesosok bidadari surga yang Allah kirimkan yang menjelma sebagai sahabatku.

Pembawa cahaya terang dalam kegelapan hidupku.

Hadirmu laksana embun yang menyejukkan dunia serta hatiku.

Semua tentangmu akan selalu kukenang dan kusimpan dalam ingatan dan hati.

Dan kehadiranmu dalam hidupku merupakan anugerah terbesar bagiku.

Aku berharap Allah mempertemukan kita dua kali. Satu kali di dunia dan satu kali di akhirat kelak. Hanya itu doaku. Semoga Allah berbaik hati mengabulkannya. Aamiin.

•••

Sepenggal Kisah Hijrah (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang