Bagian Dua
•••Bukan sabar jika ada batasnya, bukan ikhlas jika masih mengeluh. Bukan tugas manusia untuk membalas, tugas kita hanya bersabar dan ikhlas.
•••
Saat tiba di kafetaria aku memilih tempat duduk yang berada diujung, selain terhindar dari keramaian, tempat duduk disini juga berhadapan langsung dengan jendela, menyajikan pemandangan sekitar kampus.
Aku menatap Ima jengkel, kenapa dia diam saja dan terus memasang senyum yang menurut aku sangat menyebalkan.
"Kenapa dari tadi senyum, ada yang lucu?" tanyaku, greget. Sedangkan Ima hanya menjawab dengan gelengan kepala sambil tetap tersenyum.
Ya Rabb, ingin sekali aku memakan Ima hidup-hidup. Aku sudah lelah, karena bukan sekali atau dua kali kami diperlakukan seperti ini. Dan selalu saja, aku yang marah dan melawan sedangkan Ima hanya tersenyum dan diam saja tanpa mengatakan apapun.
"Sabar itu ada batasnya Ima, ada kalanya kamu marah atau sakit hati atas perlakuan orang-orang yang bersikap buruk terhadapmu. Aku jadi penasaran, hati kamu terbuat dari apa sih?"
Lagi, Ima hanya tersenyum sambil menjawab, "Bukan sabar jika ada batasnya, bukan ikhlas jika masih mengeluh. Bukan tugas manusia untuk membalas, tugas kita hanya bersabar dan ikhlas. Sudah yah, nanti kalau marah-marah terus cantik nya hilang."
"Tapi kan Ima,"
"Memang sih, hal baik itu banyak tapinya." Ima mengusap lenganku. "Kamu tahu gak Ayas, yang barusan kamu lakuin itu salah. Nggak seharusnya kamu membalas perlakuan buruk dengan hal yang sama."
"Aku tahu Ima. Tadi tuh aku bener-bener kesel!"
"Iya, iya. Aku gak akan paksa kamu buat minta maaf, tapi jangan diulangi ya?"
Aku mendelik kearah Ima. "Iya!"
Ima kembali tersenyum kearahku. Hatiku sedikit demi sedikit merasa tenang. Tapi tetap saja masih kesal, ah... sudahlah.
"Woy! Ukhti-ukhti gue cariin kemana-mana ternyata kalian disini."
Sepertinya ketenangan itu tak akan berlangsung lama. Buktinya, seorang pria dengan setelan kaos polos dan celana jeans berwarna biru tua menghampiri tempat duduk aku dan Ima. Datang, dengan berteriak seperti di hutan.
"Salam dulu Bal," peringat Ima.
"Hehe maaf ustadzah Ima, saya lupa. Assalamu'alaikum, ukhti-ukhti calon penghuni surga."
"Waalaikumsalam warohmatullahh wabarakatuh. Aamiin." Jawabku dan Ima serempak.
Mari kita perkenalkan pria ini. Dia Iqbal. Iya Iqbal, tanpa embel-embel Ramadhan, Nugraha, Saputra, dan lainnya. Hanya Iqbal.
Selain Ima, Iqbal juga termasuk sahabatku. Kita bertiga bersahabat sejak masa Ospek. Hanya saja, Iqbal sangatlah sibuk karena dia adalah Ketua Basket di kampus ini, sehingga Iqbal jarang berkumpul dengan kami, meskipun begitu dia selalu ada saat dibutuhkan. Seperti sekarang ini.
"Kata anak-anak kalian berdua dibully? Kalian nggak kenapa-kenapa ‘kan? Mereka nggak ngapa-ngapain kalian ‘kan? Gimana kejadiannya, kok bisa?" Tanya Iqbal beruntun. Dasar Iqbal, si manusia kepo!
"Kamu mau tahu banget atau mau tahu aja?"
"Gue nggak bercanda Ayas, gue nanya serius ini."
"Kamu mau aku seriusin?" Selorohku.
"Ayas! Gue tabok juga nih anak lama-lama."
Hahaha, aku senang saat menggoda Iqbal, mungkin termasuk salah satu hobiku.
"Kita bakal ceritain sedetail mungkin, tapi sebelum itu kamu harus pesenin dulu makanan buat kita, kita lapar Bal. Masa kamu tega sih membiarkan sahabat kamu kelaparan?"
Iqbal menatapku dengan tatapan kesal. "Temen siapa sih Lo? Nyebelin banget," tak urung dia berdiri. "Pesen apaan?"
"Siomay dua, teh manis satu sama air mineral satu," jawabku.
"Udah ini ceritain!"
"Aaa siap!" Aku tertawa bahagia saat Iqbal berjalan kearah penjual siomay. Sedangkan Ima hanya menggelengkan kepalanya sambil tertawa kecil.
•••
KAMU SEDANG MEMBACA
Sepenggal Kisah Hijrah (Selesai)
Short StoryCinta. Satu kata yang memiliki beribu makna. Kata orang, hidup tidak akan sempurna saat kita belum menemukan cinta. Kurasa mereka keliru, walau tidak sepenuhnya. Cnta tidak perlu kita cari, karena sudah hadir sejak kita lahir, yaitu rasa cinta yang...