Wanita Ajaib Itu, Wanitaku

141 10 9
                                    

"Kita putus!"

Tutt tutt tutt

Aku mengerjap sembari melihat layar ponsel yang sudah menyuarakan bunyi menyebalkan itu. Berdiri di seberang jalan hendak membelikan bunga untuk kekasihku, ralat, sudah menjadi mantan kekasihku baru saja. Namun, panggilan darinya yang kupikir rindu karena sudah sebulan tak bertemu, nyatanya sebuah kejutan yang membuatku nampak bodoh dan tak mampu berkata apa-apa kala dia memutuskanku secara sepihak.

What the hell! Aku benar-benar tak mengerti, ada apa dengannya? Sempat kupikir dia adalah yang terakhir untukku, menerimaku apa adanya tanpa tahu jika sebenarnya aku adalah anak pemilik Elraya Group, tempatnya bekerja. Jadi, sekarang apa aku akan diam saja menerima keputusan sepihaknya tanpa tahu letak kesalahanku di mana? Jawabannya adalah tidak.

Aku mencoba menghubunginya kembali tapi dia menolak bahkan mematikan ponselnya kemudian. Aku hanya bisa menghela napas pasrah untuk bersabar.

Dua hari setelah kejadian itu aku kembali ke Jakarta dan langsung menjemputnya di kantor. Menunggu lima belas menit dan kulihat dia keluar dengan Stacy, temannya. Aku menghampirinya dan dia terlihat terkejut. "Na, ada yang ingin kubicarakan. Ikut aku sekarang."

Aku menggandeng tangannya, dia melepasnya. "Ish, bulan puasa nggak boleh pegang-pegang," katanya dengan ekspresi lucunya.

Ok, aku menurutinya. Aku lupa jika wanitaku itu selain menggemaskan juga menjaga nilai-nilai religi dalam kehidupannya. Itu yang membuatku enggan melepasnya. Meski dia tak sesexi wanita-wanita masa laluku atau bahkan wanita bercadar dengan tingkat keimanan tinggi. Aku mengaguminya. Cukup untuk menahannya berada di sisiku hingga nanti. Harapku.

Dalam perjalanan dia hanya diam, tak seperti biasanya. Aku mengajaknya mengobrol namun dia hanya menjawab singkat dan tak menoleh ke arahku. Sampai di kafe dekat rumahnya, aku turun dan begitupun dengannya. Aku memilih di lantai dua bagian luar, tempat favoritku juga dirinya. Sembari menunggu azan maghrib, aku memulai pembicaraan.

"Nina, bisa kamu jelaskan kenapa tiba-tiba kamu memutuskanku dua hari lalu?"

Nina masih enggan menatapku. Namun, beberapa detik kemudian dia menoleh ke arahku. "Kamu berbohong padaku. Aku kesal, kecewa dan marah," ujarnya yang sudah berkaca-kaca.

Aku tak mengerti. Sungguh. Jangan suruh aku menebak hal-hal yang seperti ini, Tuhan. Kenapa wanita tidak bisa to the poin saja dari pada membuat teka-teki agar pria harus berpikir ekstra? OK, sabar El.

"Katakan aku berbohong dalam hal apa? Agar aku tahu akar dari permasalahan yang takku mengerti ini." Aku menatap matanya, dia menundukkan pandangan.

"Tentang kamu anak dari Pak Dennis. Kenapa kamu menyembunyikan fakta itu dariku?" tanyanya masih tak mau menatapku.

Astaga! Hanya karena itu dia memutuskanku? Apa dia sedang menggodaku atau menguji keseriusanku? Aku mengehela napas panjang. Kemudian tersenyum seraya memajukan tubuhku. "Nina, maafkan aku untuk itu. Aku tak bermaksud menyembunyikan itu. Hanya saja kamu tak pernah bertanya jadi kupikir tak jadi masalah selama kita memiliki perasaan yang sama." Dia mulai menatapku.

"Apa kamu tak malu bersamaku sementara ada banyak wanita yang lebih segalanya dariku yang menginginkanmu?" tanyanya polos.

Nina, sampai kapanpun aku tak akan melepaskannya. Aku jatuh dalam kesederhanaannya, kepolosannya dan apa adanya dirinya.

"Itulah mengapa aku tak mau memberitahumu. Kamu pasti akan mengatakan hal seperti itu. Listen, aku menyukaimu dan hanya kamu. Bisakah kita lupakan masalah status atau apalah itu namanya?" pintaku seraya menyatukan tanganku di atas meja.

"Aku ... entahlah," katanya, memutus kontak mata antara kita dan kembali merunduk.

"Apa perasaanmu sudah tak sama lagi padaku?" tanyaku menegaskan.

Nina menggeleng. "Bukan seperti itu, aku hanya ...."

Belum sempat dia melanjutkan perkataannya aku memotongnya cepat. "Aku menyukaimu dan kamu pun begitu. That's it. Aku hanya butuh itu. Baiklah. Tarik kembali kata-katamu kemarin. Aku tak mau mendengar hal seperti itu lagi," ucapku serius.

Dia hanya mengerjap. "Jadi kita hanya putus dua hari?" tanyanya bersamaan dengan suara azan maghrib.

OK, aku sudah tak tahan ingin menyubitnya sebenarnya tapi aku menahannya. Bagaimana dia bisa semenggemaskan ini? Oh, Tuhan. Terima kasih telah menghadirkannya untuk melengkapi hariku. Aku akan menjaganya dengan sepenuh hati. Kini, aku mendapat pelajaran berharga jika suatu hubungan harus dilandasi dengan kejujuran. Bagaimanapun bentuknya, Katakan! Untuk para lelaki di sana, bersabarlah jika wanitamu sedang mengujimu dengan sikap tak jelasnya karena sesungguhnya para wanita memiliki sisi lembut yang ingin kita mengerti. Untukku sendiri, kesabaran itu memang sangat perlu dalam menghadapi emosi wanita yang kadang tak kumengerti. Ya, wanita dan sensitivitasnya.

Pada akhirnya, Nina kembali mengoceh seperti biasanya setelah mendengar kesungguhanku atas hubungan kami. Begitulah dirinya, ceria dan menyenangkan. Tak ada yang sempurna di dunia ini, begitupun denganku. Aku dan segala kekuranganku memilih Nina untuk melengkapiku. Ya, inilah kisahku di ramadan pertamaku. Menggelikan, bukan? Kau pernah mengalaminya? Jika iya, kita sama.

***
Thank for for read this story😘

Best regards,
Tsabita Laiv
The Woman on Fire🔥

KUMPULAN CERPEN "B"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang