Makhluk Kecil Tak Bertuan.

54 5 3
                                    

By tsabitalaiv

***

Kita selalu melompat dari jalan kebenaran. Kau bilang ini menyenangkan, aku mengiyakan dan berbisik lirih, "Ah! Aku sudah segila ini padamu." Kemarilah ... temui aku di ruang rindu yang sudah kuciptakan untuk kita.

Kubaca story salah satu media sosial lelaki yang menjadi canduku belakangan ini. Entah kenapa aku merasa itu untukku. Sudah seminggu kami tak berkomunikasi karena aku harus dirawat di rumah sakit. Kenapa harus memutus komunikasi? Itu karena kak Neo menjagaku all time di rumah sakit dan aku tak bisa berkirim pesan padanya seperti biasa, dan lagi dia menguasai penuh ponselku agar tak mengerjakan apa pun selama aku di rawat. Entah itu pekerjaan kantor atau bahkan tulisanku. Itu menyebalkan ketika kau harus menahan rindu pada seseorang sementara kau sendiri tak bisa mengungkapkannya dengan mudahnya.

Aku tersenyum seraya memeluk boneka beruang sebesar setengah tubuhku. Berguling-guling layaknya anak kecil yang kegirangan usai mendapat hadiah dari ibunya dan menenggelamkan wajahku untuk menyembunyikan sesuatu yang membuncah dalam dada.

Tiba-tiba Neo masuk kamarku dan merebahkan kepalanya seperti biasa di kakiku. "Kakak mau tanya satu hal," ujar Neo.

Aku menghentikan kegiatan membaca novel kesukaanku dan mengintip Neo yang sedang memejamkan matanya. Ini masih jam 04.45 dan dia sudah bertamu ke kamarku.

"Sejak kapan kakak memerlukan ijinku untuk bertanya! Bukankah biasanya kakak lebih suka membacaku langsung tanpa basa-basi?" ungkapku.

Neo mengambil novel di tanganku dan memandangku serius. "Kakak hanya ingin memastikan jika kamu bahagia."

Aku hanya mengerjap. Neo adalah kakak tertuaku yang paling dekat denganku dan paling protective padaku. Sebenarnya, dia tak begitu sebelumnya. Hanya karena dia mengetahui kegilaanku yang pernah menjalin hubungan dengan lelaki yang sudah beristri dan pada akhirnya lelaki itu memilih untuk bertindak menjadi pengecut dengan alasan klasiknya meninggalkanku saat aku sudah memberinya hatiku. Neo geram dan sejak saat itu lebih memantau setiap pergerakanku, apalagi aku bekerja di luar kota dan tak tinggal bersama keluargaku. Jadi, ketika aku pulang ke rumah seperti saat ini, Neo tak pernah absen untuk menemaniku dan mengajakku mengobrol.

"Tentu saja aku bahagia. Kenapa tiba-tiba bertanya seperti itu?" mengusap rambut sebahunya, kesukaanku. Meski Neo lelaki dan seorang seniman, dia selalu merawat dirinya dengan baik karena aku akan memarahinya jika dia tak mendengar ocehanku yang selalu menyuruhnya mandi setidaknya dua kali sehari, dan dia mendengarkan. Ah! Aku menyayangimu, kak Neo.

"Kakak tahu kamu menyembunyikan sesuatu dari kakak."

Aku menghentikan pergerakan tanganku di kepalanya. Ya Lord, kenapa aku memiliki kakak seajaib ini? Apa aku terlalu bodoh dalam berperan atau dia yang terlalu pandai membacaku?

"Gilsa, bertindak gila itu ada batasnya. Adakalanya kamu harus berhenti saat kamu sudah bisa melihat jika hatimu sudah mulai bermain di dalamnya. Berikan hatimu untuk yang berhati."

Drrt-drrt-drrt!

Ponselku berbunyi dan segera kuraih benda pipih itu. Oh My God! Seolah udara di kamar seluas 5x5 meter yang menjadi area pribadiku selama 25 tahun ini mendadak menghilang. Getar di dadaku semakin menggila seolah sedang ketahuan mencuri sesuatu. Kubisukan panggilan itu dan meletakkannya kembali ke nakas. Berdoa semoga Neo tak mencurigaiku.

"Siapa yang melakukan panggilan di pagi buta seperti ini?" tanya Neo, meraih novel yang tergeletak di sampingku dan melihat blurbnya.

Dasss!

KUMPULAN CERPEN "B"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang