Bahagia itu ketika rasa yang kita miliki disambut baik oleh sang tuan. Berbagi waktu, menyederhanakan hal rumit menjadi sebuah kisah. Berjalan satu garis untuk mencapai tujuan yang sama. Berpegangan tangan dalam imajinasi, menyatukan kepala untuk sebuah ujung yang nyata.
Tidakkah itu indah? Ketika ada sosok yang menjadi pengisi ruang kecilmu untuk sebuah rindu, percikan menyenangkan yang akan menjadi penyemangat menjalani hari beratmu, dan hal-hal kecil yang akan kita nanti dalam hari-hari menjemukan; sebuah 'hei' atau perhatian-perhatian sejenisnya misalnya.
Jatuh hati—akan sempurna jika ada kata 'saling' di awal kata. Hati adalah tempatnya segala jenis emosi. Berbagai warna ada di dalamnya, dan saat ini aku tak yakin sedang memilikinya. Maksudku—cinta. Aku menikmati masa-masa sendiri tanpa pemilik sah atasku. Jika dulu begitu suka mendapati banyak perhatian dari mereka—kaum lelaki.
Tidak untuk saat ini. Aku lelah, sungguh. Semakin lama permainan itu tak menarik. Hal yang memuakkan tak jarang menyentuh logika. Sesuatu yang berlebihan; memperlihatkan keunggulan diri untuk menarik perhatian, menjadi orang lain untuk menyejajarkan diri, drama, politik dan omong kosong lainnya yang membuatku muak.
Sampai saatnya dia datang mengetuk pintu kecilku. Sederhana, apa adanya dan jangan lupakan sifat bar-barnya. Perlahan kumasuki dunia fantasi itu. Jika seni adalah keindahan. Maka, dia adalah bentuk abstrak yang tak mudah kuukir dengan segala jenis kuas untuk memahami keindahannya.
Aku tersesat dalam bola matanya. Satu waktu, kerumitannya mengungkapkan rasa membuatku berpikir keras apa yang sedang coba ia sampaikan, di lain waktu, sifat pemarah dan straight to the poin-nya mampu membuatku betah menjadi sesederhana dirinya. Namun, takdir berkata lain. Dia bukan untukku.
Dalam ruang hampa aku berada, kau datang. Menelusuri jalan setapak dengan sopan. Mengucapkan salam dan berbagai cerita kau suguhkan untuk masuk dalam logika. Singkat cerita, aku mulai menerimamu. Meski kau jauh berbeda dengannya. Tenang saja, aku tak sedang menyamakan kalian. Kalian memiliki porsi tersendiri dalam kepala.
Aku mulai menunggu pesan singkat dan segala jenis perhatian darimu. Ya, itulah yang kulakukan setiap malam menjelang tidur atau setiap pagi menjelang aktivitas harianku. Melihat namamu di layar ponsel menjadi energi khusus terciptanya seulas senyum.
"Kamu mengingatkanku padanya," ujarmu tepat di seberangku.
"Siapa '-nya' yang kamu maksud? Apa kita sedang membicarakan orang lain saat ini?" balasku.
"Mantan kekasihku."
OK. Aku mulai tak menyukai pembahasan ini.
"Bagian mana yang mengingatkanmu padanya?"
Sebenarnya aku tidak suka meneruskannya, tapi rasa penasaran bercampur kesal bersatu untuk membunuhku
"Panggilan itu. Dia juga sering menyebutku Dewi, sama sepertimu." Terkekeh menyebalkan tanpa tahu betapa kesalnya diriku. "Aku cukup terkejut awal-awal kamu memanggilku seperti itu."
Aku tersenyum miring. Menahan gejolak ingin memakanmu hidup-hidup atau memukul kepalamu agar kembali pada tempatnya. Kita hanya berteman, tapi bolehkah kukatakan jika pertemanan kita terkadang membuatku bingung?
Silahkan bercerita panjang lebar karena aku sudah memutuskan untuk menutup telingaku dengan kumpulan mantra pengusir roh jahat agar kegilaan yang sedang berputar dalam kepalaku tidak menjadi kenyataan.
"Terserah," jawabku pada akhirnya ketika kau meminta pendapatku tentang sesuatu. Maaf! Telingaku sudah tak berfungsi ketika kau mengatakan hal panjang lebar itu.
"Aku pergi! Bye," tambahku.
Suasana hati sudah mulai keruh. Kepergianku kau antar dengan selamat malam dalam sebuah pesan. Tak berniat membalasnya. Kuputuskan untuk mendengarkan ocehan Prita sepanjang malam. Lebih baik dan manjur melupakanmu dengan cara itu. Karena membalasmu dengan hal yang sama bukanlah diriku.
KAMU SEDANG MEMBACA
KUMPULAN CERPEN "B"
RomanceRuang luas yang kusebut dengan Imaginer World. Masuki lebih dalam. Kau akan tahu bagaimana sebuah aksara itu akan membuaimu hingga lupa untuk kembali ke dunia nyata. Dialah yang bertahta, dialah yang berkuasa. Ini tentangku, kisahku dan sesuatu yang...