Keberuntungan Dua Digit

28 2 2
                                    

Priiiitttt!!!

Ah, Menyebalkan! Berurusan dengan guru yang paling tidak kau sukai adalah hal yang menjengkelkan. Pagi ini aku terlambat ke sekolah hanya karena menunggu angkot yang entah sedang tersangkut dimana sampai pada akhirnya aku harus berangkat dengan tukang ojek. Itu artinya, jatah uang jajanku berkurang, dan aku kesal.

"Tiga putaran lagi! Ayo cepat!" teriak Pak Jodi dari tengah lapangan—mengawasi kami, anak-anak bandel yang hobi terlambat untuk menjalani hukuman harian, lari memutari area seluas lapangan golf sebanyak lima kali, dan sialnya lagi; aku adalah satu-satunya perempuan dalam barisan murid bandel itu.

OK, sebenarnya aku tidak merasa bandel, di kelas nilaiku cukup bagus. Hanya saja, masalahku adalah; suka menjadi pusat perhatian dengan berangkat lebih siang agar mendapat banyak mata yang menyorotku ketika aku melewati gerbang untuk berjalan ke kelas, dan itu berhasil, meski kadang terlalu berhasil seperti saat ini. Menjadi tontonan adik kelas dan kakak kelas dari balik jendela transparan itu.

Setelah putaran terakhir, Pak Jodi meminta kami kembali ke kelas masing-masing. Kenapa bukan diberi poin saja? Itu karena hari sabtu adalah hari bebas poin di sekolahku.

Jadi, sebagai gantinya, jika ada yang melanggar peraturan sekolah, akan diberi hukuman fisik. Seperti memutari lapangan, hormat pada bendera, membuang sampah, dan lain lain.

Aku berjalan ke kelasku dengan dada yang naik turun sembari menggerutu dalam hati. Kuletakkan tas ranselku dan menidurkan kepalaku di meja. Kudengar suara tawa dari sebelahku.

"Capek, Buk?" kata Sandra, teman sebangkuku dari SMP.

Aku mengerucutkan bibir seraya mengangguk. "Sial banget sih gue hari ini! Udah angkot ngilang entah ke mana, musti olahraga lagi!" kupukul pelan mejaku. "Jangan bilang Bu Ana bakal nyuruh gue maju nih bentar lagi!" lanjutku.

Sandra hanya menutup mulutnya, menahan tawa. "Tenang aja, lo pasti bisa kalau pun iya."

"Pagi!"

Ah! Mendengar suaranya saja sudah membuatku gemetar.

"Pagi, Bu."

Bu Ana berjalan dengan langkah tegasnya—seperti biasa. Kemudian duduk dan langsung membuka buku panduannya. Menjelaskan materi baru yang tidak ada di buku paket kami dan memberikan contoh langsung di papan. Setelah itu membuka sesi tanya jawab untuk kami yang belum mengerti agar bertanya, tapi tidak satupun dari kami bersuara.

Entah itu takut atau memang sudah paham tentang materi yang telah disampaikan. Kalau kalian tanya kepadaku, jawabannya adalah aku tidak paham. Matematika sungguh membuatku sakit kepala. Padahal aku masuk IPA. Entah setan dari mana yang merasukiku saat itu sehingga dengan percaya dirinya aku memilih jurusan ini.

Setelah memberikan soal itu, Bu Ana melenggang pergi dan membiarkan kami mengerjakannya dengan tenang.  Jangan bilang kami adalah warga baik-baik yang patuh pada aturan, karena setelah kepergian Bu Ana, masing-masing dari kami sudah mulai membentuk kelompok untuk mengerjakan lima soal yang membuat otak kami bekerja lebih ekstra.

Dengan berbisik-bisik dan menahan gerak langkah agar tidak terdengar berisik dari luar. Sementara aku tak perlu pergi ke mana-mana karena aku memiliki Sandra di sebelahku yang jago dalam hal ilmu pasti.

Sesekali aku bertanya padanya jika aku tak mengerti, tapi dari lima soal itu, aku baru mampu mengerjakannya tiga sampai Bu Ana kembali dan menyuruh kami mengerjakannya langsung di papan tulis.

Oh, Tuhan, apa lagi ini? Firasatku mendadak tak enak, dan benar saja. Ketika bu Ana menyebutkan siapa yang harus mengerjakan untuk soal nomor satu, aku lemas seketika. Bagaimana tidak? Itu salah satu soal yang aku belum bisa mengerjakannya, begitupun teman sekelasku lainnya.

Fix, aku sudah tak punya tenaga lagi. Ada apa dengan hari ini sebenarnya? Aku tidak sedang ulang tahun, kenapa semua menjadi menyebalkan?

Akhirnya, siap tidak siap aku harus maju. Untuk informasi saja. Bu Ana adalah salah satu makhluk menyeramkan yang dimiliki oleh sekolah kami. Kalau di jurusan IPS ada bu Emi, kami punya bu Ana. Tak satu pun dari kami berani dengan dua sosok itu. Tak ayal, aku maju dengan langkah gemetar.

Sebelumnya aku sudah bilang kalau belum menyelesaikannya tapi Bu Ana memintaku untuk melanjutkannya langsung di depan. Baiklah, she want to kill me. Bagaimana jika aku tidak bisa? Ah! Ini konyol, bahkan aku memang sudah tidak mampu mengerjakannya, bukan?

Kuambil boadrmaker dari meja Bu Ana dan menghembuskan napas perlahan. Sepertinya Bu Ana melihat kegugupanku. Bagaimana pun, beliau adalah wali kelas kami, sudah sewajarnya jika setiap kelebihan dan kekurangan kami, beliau mengetahuinya.

Tanpa kuduga, Bu Ana memberikan arahan langkah demi langkah penyelesaiannya, dan kepercayadirianku perlahan meninggi, disusul oleh anggukan Bu Ana pada bagian hasil. Aku lega dan bersyukur dalam hati. Meski tangan terasa kaku, bagaimana tidak? Satu papan tulis penuh dengan jawabanku sendiri. Aku tak percaya ini.

Setelah itu aku turun dan memandang Sandra yang mendapat giliran soal selanjutnya. Aku percaya dia tak akan kesulitan, dan memang benar. Dia mengerjakan dengan mudah. Soal demi soal terselesaikan dengan baik, sampai pada soal terakhir.

Intan maju dan terjadilah rentetan kalimat panjang yang tiada hentinya—Bu Ana mengomel karena Intan bahkan tak paham untuk memilih mana KPK mana FPB untuk tahap awal. Kulihat wajah Intan memerah seperti hendak menangis, tapi kemudian bel pergantian mata pelajaran terdengar.

Bu Ana meminta Intan untuk tetap mengerjakannya di rumah dan pertemuan selanjutnya harus tetap maju. Begitulah akhirnya. Intan mengiyakan dan kembali ke tempat duduknya.

"Lo tau, lo beruntung hari ini," ujar Sandra padaku.

Aku mengernyit, tak mengerti apa maksudnya. "Jika yang lo maksud beruntung dari omelan Bu Ana, baiklah, gue iyain."

Sandra menahan tawa. "Lo tahu nggak kalo jawaban lo tadi itu sebenernya salah?" Sandra menaik turunkan kedua alisnya sembari mendekatkan badannya kepadaku.

Aku mengerjap, beberapa detik kemudian aku baru sadar. "Apa?"

Aku melihat buku Sandra dan hasil akhir yang kutulis di papan tadi tak seperti ini seingatku. Kuputuskan untuk memencet kalkulator dan beberapa detik kemudian aku dan Sandra tertawa cukup kencang hingga anak-anak lain memandang kami penasaran.

Ah! Itu artinya keberuntungan masih berpihak kepadaku. Bu Ana tak mendetailkan hasil akhirku yang ternyata salah dua digit, padahal biasanya beliau sangat teliti dengan setiap angka yang dilihatnya. Aku bersyukur. Setidaknya aku bisa menyelamatkan gelarku yang tak pernah turun dari jajaran tiga teratas.

Ah! Mempertahankan sesuatu memang tak mudah, bukan? Terkadang kita melakukan segala cara untuk bisa tetap bertahan pada apa yang kita inginkan, tapi jangan terlalu terpaku pada hasil karena itu hanyalah bonus. Proses adalah yang sebenar-benarnya. Jika proses itu kita nikmati, maka hasil yang baik akan mengikuti.

Aku sudah membuktikannya, meski aku tak menyukai matematika, tapi aku selalu mencoba untuk bisa menaklukkannya dengan perlahan, dan hasilnya? Cukup memuaskan ketika aku berhasil dengan kemampuanku sendiri. Jadi, bagaimana dengan kalian?

***

KUMPULAN CERPEN "B"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang