Unexpected

27 2 0
                                    

Kuulas sebuah senyuman ketika melihat pesan masuk darinya—gadis manis yang menjadi poros duniaku belakangan ini. Nabila Rahma, mahasiswi UGM tingkat akhir. Jika kalian tanya kapan rasa itu mulai hinggap, aku pun tak tahu. Perasaan itu muncul begitu saja.

Apa aku yang terlalu mudah meletakkan hatiku pada seseorang atau dia yang hebat menyentuh sisi lain dalam diriku? Entahlah! Aku masih menyimpannya di sudut hatiku, membiarkannya berkembang hingga aku tak kuasa untuk menahannya sendiri.

Mas, kamu nggak kangen aku? Bagaimana bisa kamu mengabaikanku dua hari ini? Kamu marah sama aku? tulisnya pada pesan itu.

Aku merasakan kehangatan menjalar ke dalam hatiku.  Pesan itu layaknya sengatan mentari di pagi hari yang menghangatkan disertai dengan kicauan burung sebagai degup jantungku.

Mengandung banyak arti,  kemudian membangun fantasiku akan sebuah hubungan manis antara aku dan dia. Baiklah, aku sudah bertekad untuk segera mengakhiri hayalanku sampai di sini. Kuputuskan untuk membagi rasa indah itu kepadanya —segera.

Kenapa harus marah padamu? Ah, iya aku lupa memberitahumu jika dua hari kemarin aku ada show di luar kota dan belum sempet menyapamu di ruang rindu. Hehe, balasku.

Oh, kupikir Mas marah sama aku atau udah punya pacar baru jadi nyuekin pesan-pesanku? aku kesepian nggak ada kamu.

Aku hanya mengerjap membaca balasan darinya. Sungguh, dia tidak tahu jika saat ini aku sedang menormalkan detak jantungku yang menggila karena kalimatnya itu. Menahan senyum agar tidak melebar karena saat ini aku sedang berada di antara teman-teman gilaku.

Aku tak akan membiarkan mereka mengetahui alasan dari senyumanku ini, karena jujur aku malu mengakuinya jika aku sudah jatuh hati pada gadis itu, saat kami bahkan belum saling mengenal lebih jauh, dan hanya lewat udara bisa kusampaikan rasa rindu yang selalu tertuju padanya setiap malamku.

Kamu bicara apa? Kamu tahu aku nggak ada cewe, masih aja bilang kayak gitu. Iya, aku juga. Bagaimana kalau minggu depan kita bertemu? Aku akan ke tempatmu, tulisku.

Satu menit, dua menit, tiga menit, aku menunggu balasan darinya. Namun, hingga menit yang entah ke berapa dia baru membalasnya. Ketika teman-temanku sudah berpamitan untuk pulang, meninggalkanku bersama pesan yang sedikit membuatku kecewa.

Maaf, Mas, minggu depan aku harus ke rumah bibiku di Ngawi, sepupu perempuanku menikah. Oh, iya! Mas udah makan? Makan dulu gih! Aku mau keluar dulu yaa sama temen-temen, balasnya.

Aku menghela napas panjang. Ingin rasanya hati menyampaikan saat ini juga tapi entah kenapa setiap kali aku mengajaknya untuk bertemu, dia selalu menghindar dari topik itu atau bahkan beralasan lain.. Aku tak tahu apa ini hanya perasaanku saja atau memang itu adalah kenyataannya.

Aku tak ingin berpikiran buruk tentangnya.  Kumaklumi hal itu. Bukankah aku cukup berbesar hati? Ya! Cukup besar sampai terkadang aku hanya bisa menjadi pendengar setianya ketika dia sedang ingin menumpahkan segala beban kehidupannya padaku—menangis dan menganggapku seolah bagian terpenting dalam setiap pengambilan keputusannya.

Baiklah, tak apa. Kabari aku lagi kalau kamu udah senggang. Iya, ini mau makan. Hati-hati di jalan, Bil.

Kuletakkan selulerku dan hendak ke luar untuk mencari makan malam tapi sebuah notifikasi pesan masuk kembali memanggilku. Kuraih kembali benda pipih itu dan tiga detik berikutnya aku tersenyum kecil.

Hei! Kakak menyebalkan! Pulang tanpa pamit! Aku mau sapu tanganku balik, tulis sebuah pesan dari gadis yang baru kukenal dua hari lalu.

Titania, begitulah dia mengenalkan diri kepadaku. Seorang pemilik WO Symphony Entertainment; muda, supel dan tentu saja cantik. Ya, dua hari lalu ketika show di kota Malang, aku bertemu dengannya. Dia juga sebagai pengisi acara—sama denganku.

Bedanya, dia diundang langsung oleh sang pemilik acara—pemerintah kota setempat yang kudengar darinya adalah pamannya sendiri.

Hahaha ... Jadi itu caramu berterima kasih padaku dengan meneriakiku seperti seorang pencuri sapu tangan setelah aku menolongmu kemarin, Nona? jawabku.

Aku menggeleng tak percaya. Ada gadis unik sepertinya yang malam-malam mengirim pesan hanya untuk menanyakan sapu tangan yang masih terdapat sedikit noda darah akibat perkelahianku dengan pria yang mencoba bertindak tak baik kepada Tita.

Ish, si kakak! Bercanda juga di seriusin. Gimana kabar kakak? Tuh hidung masih di tempatnya, kan?

Aku tak tahu apa yang salah dengan gadis itu. Berbicara dengannya selalu membuatku tertawa. Mungkin karena berkecimpung di dunia yang sama denganku jadi aku tahu—‘menyenangkan’ adalah hal wajib untuk kami, pemeran utama yang dituntut untuk selalu memasang senyum meski hati bertolak belakang dengan itu.

Masihlah, emang hidung kamu? Suka jalan-jalan sendiri? Hahaha ... Kenapa? Mau ngobatin aku emang kalo aku bilang masih nyeri?

Aku tak pernah tertawa selepas ini dengan orang baru apalagi dia seorang gadis cantik yang berkecimpung di dunia hiburan—penampilan dan otak harus seimbang. Dia memilikinya.

Jangan lupakan dari keluarga yang cukup terpandang di kota kelahirannya, kata temanku yang bernama Dani—talent Symphony Entertainment. Kebetulan yang cukup indah, bukan?

Yee, emang nih hidung punya kaki. Serius masih nyeri? Maaf yaa ... gara-gara aku kakak jadi terlibat adu jotos sama orang freak itu.

Aku tak mempermasalahkan itu sebenarnya. Tak apa sedikit olahraga untuk berbuat baik. Bagaimana mungkin aku diam saja melihat gadis yang hampir dilecehkan oleh pria lain?

Aku menghormati perempuan seperti aku menghormati ibuku.  Meski aku tak sealim hingga tak mau menyentuh perempuan yang bukan muhrimku, aku juga tak akan melakukan hal seperti itu.

Udahlah, aku nggak papa. Lain kali hati-hati aja. Mainlah ke Jogja, ambil sini sapu tanganmu kalo mau balik.

Aku sudah melupakan acara makan malamku karena terlalu asyik mengobrol dengannya. Melalui Video Call bisa kulihat caranya tertawa, merajuk dan ekspresi lucu lainnya. Aku tak habis pikir—bagaimana bisa dia yang sempurna sudi berteman dengan upik abu sepertiku

Bahkan dia yang memulai perkenalan kami dengan keceriaannya yang bisa kulihat jika itu bukan sebuah topeng seperti yang kebanyakan orang kenakan hanya untuk formalitas atau basa-basi. Dia berbeda dan aku menyukainya—sebagai teman.

***

tsabitalaiv

KUMPULAN CERPEN "B"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang