'Bukti kecintaan seseorang pada kita itu dapat dilihat saat kita berada di masa sulit.'
***
One year later...
"Kapan kamu mau nikah?" Pertanyaan yang selalu membuat sebagian orang bungkam.
"Umur udah cukup, kerjaan udah mapan, semua lamaran yang datang malah kamu tolak. Kamu lagi nunggu seseorang atau memang ga mau nikah? Mau sampai kapan?" kata ummi panjang lebar.
Farah hanya diam saja, gadis itu sudah kebal dengan pertanyaan seperti itu dari siapapun yang menginginkan dirinya agar segera menuju ke jenjang pernikahan.
"Niat baik jangan ditunda-tunda. Ummi sama abi udah makin tua. Ini untuk yang terakhir kalinya, nanti kalau ada yang datang melamar biar mmi saja yang lihat latar belakangnya, kalau kira-kira cocok ga ada alasan lagi untuk nolak!" Ummi menegaskan.
Farah melongo mendengar penuturan umminya barusan, ia tak bisa berkata apa-apa lagi jika sudah begitu. Seolah yang akan menikah itu ummi bukan dirinya, Farah merasa sedikit kesal. Ummi berlalu keluar kamar setelah mengatakan itu.
Farah berdecak kesal, "Tapi ada benarnya juga apa yang ummi katakan tadi, kenapa aku harus menunda untuk menikah? Aku ini menunggu siapa? Orang yang tidak pasti?" Farah mengusap wajahnya kasar.
Selama ini setelah pernikahan Akbar, Farah merombak sebagian isi doanya disepertiga malam. Jika sebelumnya hampir setengah dari doanya ia tujukan pada Akbar, tapi semenjak hari itu jatah Akbar dialihkan pada seseorang yang tidak tau entah dimana sekarang.
"Baiklah, kalau ada pria yang datang melamar kali ini akan kupertimbangkan sebaik mungkin, tidak ada alasan lagi untuk menolaknya selagi akhlaknya bagus." Farah bermonolog.
"Teh Farah, ada tamu!" Suara Adhwa terdengar melengking dari arah luar.
Farah segera mengambil hijab dan mengenakannya, lalu berjalan keluar kamar. Terlihat sudah ramai di ruang tamu, ummi dan abi menyambut tamu itu dengan ramah.
Kakinya terasa kaku, Farah mematung ditempatnya saat melihat siapa yang datang. Tidak! Perkataannya tidak mungkin dikabulkan secepat itu! Ia akan siap mungkin satu sampai dua tahun lagi, tidak sekarang! Farah menyesali perkataannya saat di kamar tadi.
"Farah, ayo sini!" Panggil ummi.
Langkahnya terasa berat, ia tidak ingin menemui mereka, perasaannya benar-benar tidak enak sekarang. Farah menyalami tamu perempuan dan laki-laki dengan cara yang berbeda seperti biasanya. Ia menjatuhkan tubuhnya tepat disebelah ummi. Farah tersenyum kepada mereka yang ada disana, senyuman terpaksa.
Setelah berbincang mengenai banyak hal, Farah semakin yakin dengan maksud kedatangan mereka yang secara tidak langsung percakapan mereka mengarah kesana.
"Langsung saja, ya?" ujar Pak Kyai.
Ya, Pak Kyai pemilik Pesantren Daarul Yunus. Pesantren tempatnya menuntut ilmu beberapa tahun silam. Kini Pak Kyai datang bersama istrinya dan cucunya yaitu Bang Putra, juga kedua orang tuanya Bang Putra.
"Seperti yang sudah disinggung tadi, kami datang kemari untuk mengkhitbah Farah untuk cucu saya, Putra."
Perkataan Pak Kyai membuat tenggorokan Farah terasa tercekat. Perkataan yang sudah Farah duga sebelumnya. Apa tadi malaikat langsung mencatat perkataannya? Sampai-sampai Allah langsung mengabulkannya? Sekarang Farah seolah termakan omongannya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta di Sepertiga Malam Terakhir [END]
Teen FictionSeorang gadis berdarah Sunda yang wajahnya memikat siapapun yang melihatnya. Harus menerima banyak kenyataan yang mau tak mau harus diterimanya. Mulai dari pesantren, pengorbanan, dan lainnya. Banyak pria yang datang melamarnya, namun semuanya ditol...