"Jangan tanyakan perasaan ku"
"Jika kau pun tak bisa beralih"
"Dari masa lalu yang menghantuimuu"
"karena sungguh ini tidak adil"
Entah mengapa lagu itu selalu muncul dibenak Arman. Ia berfikir mungkin keadaan berusaha untuk menghalangnya namun semua itu hanyalah sebuah filosofi karena rencana tak pernah gagal mungkin waktu saja yang salah.
Terlalu cepat untuk mengatakan perasaan mungkin membuat dia lupa bahwa akibatnya akan terpatahkan.
Hari ini menjadi akhir dari perjalanan mereka dan mungkin dibenakmu terlintas kata perpisahan. Ujung dari perjalanan ini adalah rutinitas yang mungkin sangat membosankan namun itu adalah sebuah kewajiban.
***
Seperti saat dimana mereka memulai,kereta api jurusan bandung surabaya kembali membawa mereka menuju rumah. Tak ada yang aneh, semuanya berjalan normal seperti pada umumnya. Namun setelah rencana yang gagal arman menolak untuk lupa.
"sampai berjumpa lagi".
"okk".
Perpisahan kali ini tak semenarik lagi dengan pertemuan. Mungkin tak begitu nikmat bahkan tak bersemangat. Ada sebuah candu yang tersirat dan semuanya harus menjadi kenangan dalam sebuah surat.
Tringgg Tringgg!!!
Dering telefon arman berbunyi membuat sebagian tubuhnya sedikit bergetar. Terpapar sebuah nama yang tak asing dalam ingatannya siapa lagi kalau bukan fadil.
"hai bro bisakah kau kemari"
"semendadak ini, aku baru kembali dari kerjaan"
"kau tak bisa menolak, ini hal yang penting"
"baiklah kau harus membuatku terkesan"
Jika bukan karena kepercayaan mungkin arman hanya mengabaikan. Sepertinya ini akan menjadi hari yang berat lagi.
Setelah beranjak dari stasiun tempat mereka berpisah. Arman kembali mengubah arah tujuannya ia memutuskan untuk menerima ajakan sahabatnya. Dengan tas yang masih melekat di tubuhnya angkutan kota berhasil membawanya ketujuan.
Dijejeran bangku taman seorang lelaki duduk dengan kepala yang dibaluti topi convers hitam favoritnya. Di tangannya Selembar kertas menari karena terpaan angin sepoi sepoi saat itu. Entah apa itu tapi yang pasti ada dalam genggamannya.
"hal penting apa yang tak bisa kau ucapkan lewat telfon"ucap arman sembari menatap dengan penuh lesuh
"duduklah dulu kau tak perlu terburu buru"jawab fadil lalu memperlihatkan selembar kertas dalam genggamannya
"lihat ini ada sebuah kompetisi memotret dan hadiahnya keliling indonesia".
Meski kepadatan jadwal serta rutinitas yang masih menjadi prioritas takkan bisa mengeser sebuah impian. Ada perasaan hangat yang merangkul kedua sahabat itu.
"kau memang mengerti diriku kawan"ucap arman sembari merangkul sahabatnya
"Tunggu, pendaftarannya dua hari yang lalu bukankah sudah terlambat".
"tenang saja, namamu sudah terdaftar".ucap fadil dengan nada yang rendah ia tak mau harapan sahabatnya kembali sirna walaupun selang waktu kedepan semuanya akan pudar
"tak salah aku menjadikan mu sahabat. tenang pengorbanan materi mu akan kubalas nanti".
Tak ingin mengecewakan sahabatnya kini fadil mengatakan yang sebenarnya. Mungkin ia akan tau apa yang terjadi selanjutnya. Jika saat ini ia berpura pura tak akan lama untuk fakta memutar balikkan keadaan
"tapi sayangnya bukan aku yang mendaftarkan mu"
"lalu siapa"
"aqiah"
Seketika raut wajah arman berubah drastis. Entah apa yang membuat nama itu tak bersahabat dengannya. Mungkinkah masa lalu ataukah kenangan yang masih menjadi hantu. Kalian akan tahu dan pastinya harus menunggu.
"kau tau kan apa yang pernah terjadi antara aku dan dia"
"aku tau hanya saja..."belum sempat fadil melanjutkan kalimatnya arman memotong begitu saja.
"katakan padanya sekeras apapun dia mencoba untuknya hatiku masih menjadi baja".
"walaupun sedikit egois jangan kira ini akan berakhir ironis".ucap arman meraih tasnya kemudian berlalu.
***
jika kau telah membuat kayu menjadi abu jangan harap ia akan kembali utuh
KAMU SEDANG MEMBACA
HOMECOMING
Teen FictionBerawal dari sebuah pemikiran yang terlampau jauh. Kehidupan yang nyaman dan monoton bukanlah seleranya. Ia lebih memilih untuk menjalani kehidupan sesuai dengan kehendak sendiri Namun seiring waktu berjalan dirinya dipropogandakan oleh ego dan nura...