16. Skenario Tuhan akan berakhir indah

37 2 0
                                    

Skenario manis pada masa depan yang telah disusun secara apik oleh Rofifah Juniandar sempat berada di ujung tanduk. Persisnya ketika dia divonis kanker tulang pada sepuluh tahun silam. Hingga akhirnya, dia mengikhlaskan kaki kanannya untuk diamputasi saat kelas II SMP. Berbagai cita-cita terus disusun. Salah satunya, belajar fashion ke Paris, Prancis.

DIMAS NUR APRIYANTO, Bandung

''SETIAP mau tidur itu, kakiku terasa pegel banget. Terasa capek nggak keruan,'' ucap Rofifah Juniandar saat mengenang masa-sama sulitnya sebelum divonis kanker oleh dokter beberapa tahun lalu. Dia berusaha mengingat kisah pilu yang sempat membuatnya hampir putus asa.

Bagian dari kisah hidupnya itu terjadi pada akhir 2008. Kebahagiaan anak sekolah dasar setelah mengikuti kamping Pramuka tiba-tiba kandas saat rasa sakit menghampirinya. ''Rasa sakit ini muncul setelah aku ngikutin Pramuka di sekolah. Tapi, bukan berarti karena kegiatan Pramuka. Bukan,'' ujar Rofifah.

Malam itu seolah menjadi malam terakhir bagi Rofifah. Dia harus berperang dengan rasa sakitnya tiap merebahkan tubuh di kasur. Malam bukan lagi menjadi perpisahan manis untuk bertemu dengan sang surya di keesokan harinya. ''Sakitnya kayak apa tidak bisa aku jelaskan. Pokoknya sakit. Dari betis ini sampai ke bawah,'' ungkap perempuan yang akrab disapa Rofifah itu.

Cerita sebelum tidur seolah bukan lagi menjadi pengantar yang baik ke alam mimpi. Tangan lembut sang bundalah yang dibutuhkannya saat itu. Rofifah memegang tangan ibunya dengan sangat erat untuk menahan rasa sakit di betisnya. ''Awalnya, mama mikir itu pegel biasa. Apalagi kan aku habis pulang kegiatan Pramuka, ya,'' ucapnya.

Tidak lama setelah itu, Rofifah dan ibunya pergi ke puskesmas. Bagai petir menggelegar di siang bolong, keduanya lemas setelah mendengar dugaan sementara dari staf puskesmas yang memeriksa Rofifah. Gadis cilik dan imut tersebut didiagnosis menderita tumor tulang. Sang bunda sempat tidak percaya. Darah dagingnya itu dipeluk erat-erat. Perjalanan menuju rumah dari puskesmas terasa begitu lama.

''Puskesmas itu bilang, nggak tahu ya ini tumor ganas atau jinak. Disarankan untuk segera ke rumah sakit,'' tutur Rofifah. Keesokan harinya, dia bersama ibunya ke rumah sakit. Setelah menjalani serangkaian pemeriksaan, diagnosis tersebut diamini oleh hasil pemeriksaan pihak rumah sakit. Rofifah positif menderita tumor ganas pada tulangnya. ''Ini disebut kanker tulang,'' ucapnya.

Karena masih kelas V sekolah dasar, Rofifah tidak begitu memikirkan hal tersebut. Terlebih, sang ibu dan keluarganya yang lain tidak pernah menunjukkan air mata di depannya. Raut wajah sang ibu tampak tegar. ''Tapi, aku tahu mama pasti sedih,'' tutur Rofifah.

Tiba-tiba, perbincangan antara Rofifah dan berhenti. Air mata dara cantik kelahiran 1997 tersebut mengucur perlahan membasahi pipinya. Bibirnya mengatup. Dua matanya benar-benar banjir oleh air mata. ''Suka nggak kuat kalau cerita tentang mama,'' ujarnya dengan mengelap pipinya yang basah karena air mata. Wawancara dengan Rofifah sempat berhenti selama 58 detik. Dia menghela napas panjang.

''Aku suka bilang, maafin teteh ya, Ma. Sudah ngerepotin mama, adik, sama ayah. Uang mama sama ayah habis buat teteh. Adik jadi nggak keurus karena fokus pengobatan teteh,'' tuturnya. Rofifah menjalani perawatan demi perawatan. Kaki kanannya bersentuhan dengan pisau operasi hingga tujuh kali.

''Sebelum penyebaran, kemoterapi satu protokol enam siklus. Kemudian, setelah penyebaran, ditambah empat siklus. Lalu, setelah amputasi, ditambah dua siklus. Total kemoterapi 12 siklus,'' jelas perempuan yang suka makan sop iga itu.

Tubuh Rofifah bersahabat dengan zat kimia pada proses kemoterapi sejak 2009 hingga 2012. Pada awal 2012, anak sulung di antara dua bersaudara itu tidak menjalani kemoterapi lagi. ''Obat kemoterapi sudah distop. Jadi, hanya kontrol saja setahun sekali dari 2012 sampai sekarang ini,'' terangnya.

Pada operasi ketujuh, Rofifah memberikan sebuah keputusan yang sangat berat bagi dirinya dan keluarga. Dia menyampaikan bahwa dirinya bersedia mengamputasi kaki kanannya. Tujuannya satu. Yakni, menyingkirkan sel kanker dari diri Rofifah. ''Dikhawatirkan sama dokter akan menyerang paru-paru atau otak,'' tambahnya.

Keputusan itu sontak membuat kaget keluarganya. Sang bunda menjadi orang yang kali pertama diberi tahu mengenai keputusan besar tersebut. ''Teteh sudah yakin? Itu kalimat yang keluar dari mama,'' kenang Rofifah. Dia menyebutkan, jika kaki kanannya tidak diamputasi, perjalanan perawatan menjadi panjang.

''Itu tulang yang ada sel kanker diangkat untuk dibersihkan, lalu dipasang lagi. Kemudian, diangkat lagi sesuai siklus yang aku jalani,'' jelasnya. Saat itu, biaya perawatannya ditanggung pemda karena menggunakan kartu jamkesda (jaminan kesehatan dari pemerintah daerah).

Setelah diamputasi, Rofifah cuti sekolah selama setahun. Dia menjalani perawatan di rumah. Setahun berlalu, dia kembali ke sekolah. Perasaan dag-dig-dug sempat menghampirinya. Dia merasa bukan Rofifah yang dulu. Yang masih memiliki dua kaki utuh. Ketika tiba di depan sekolah, perasaannya semakin kacau. Rasa takut karena dirundung teman-temannya semakin bergeliat.

''Pas diamputasi itu, aku kelas II SMP di SMPN 1 Panggarangan, Lebak, Banten,'' jelasnya. Rasa khawatirnya terhadap perundungan oleh teman-temannya ternyata tidak terjadi. Sebaliknya, teman-temannya telah menanti kedatangannya. Rofifah disambut hangat. ''Malah disambut saat sampai di depan kelas. Ke kantin diikutin, ke mana diikutin. Itu terjadi sampai SMA dan sekarang ini kuliah,'' tuturnya.

Anak pasangan Iskandar dan Uka Supriatin tersebut merasa bersyukur karena keberkahan dalam hidupnya terus mengalir. Tekadnya untuk menempuh jenjang perkuliahan seolah membesar. Dia memutuskan untuk melanjutkan studi yang lebih tinggi agar menjadi sarjana. Beasiswa unggulan dari Kemendikbud mengantarkan perempuan berkerudung itu berkuliah di salah satu kampus seni di Jakarta.

Gadis yang berulang tahun setiap 15 Juni tersebut mengambil konsentrasi ilmu desain pada fashion. Impian untuk memiliki butik dan menggelar fashion show bertaraf internasional mengayun dalam hidupnya. ''Waktu SMA, aku ambil jurusan IPA. Aku mikirnya pas kuliah ini pengin yang jurusan nggak hitungan atau kimia lagi. Ya, itu akhirnya desain pada fashion,'' ungkapnya lantas tersenyum.

Passion-nya dalam dunia fashion terus diasah. Tahun ini, Rofifah masuk sepuluh besar kompetisi desain yang diadakan salah satu perusahaan multivitamin yang berlokasi di Amerika. ''Nggak lolos ke tahap lima dan tiga besar. Tapi, lumayan sudah punya pengalaman sedikit untuk ikut persiapan kompetisi di kemudian hari,'' ucapnya dengan bangga.

Selain sibuk berkuliah, Rofifah beberapa kali memberikan motivasi. Dia bersama dengan Yayasan Kanker Anak Indonesia (YKAI) menyebarkan energi positif kepada beberapa pasien kanker. Dia mengenal YKAI ketika pindah berobat ke RSCM, Jakarta Pusat, pada 2012. Perjuangannya untuk bertahan dan melawan kanker terus berlanjut.

''Ini mungkin bagi pembaca Jawa Pos yang ingin ikut bersama saya bisa melalui donasi juga. Ke nomor rekening BCA atas nama Yayasan Kanker Anak Indonesia di 5265442801,'' ucapnya. Dengan asa, Rofifah melanjutkan hidupnya. Termasuk impian agar bisa berkunjung ke Paris, Prancis. ''Aku pengin ke sana (Paris, red). Pengin belajar tentang fashion juga,'' tandasnya.

Please Go Away CancerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang