DAISY; Satu

54 9 7
                                    

===Happy Reading===

Sebuah sisir menyapu rambut hitam legam dengan mulusnya. Kemudian berlanjut pada polesan bedak bayi di atas wajahnya yang putih bersih. Wajah itu terlihat sangat cantik dengan kesan natural. Tanpa lesung pipi, senyum manis masih terlihat jelas mengukir di bibirnya, membuat wajahnya semakin sempurna dengan pahatan bentuk yang sangat pas. Seketika senyum manis itu luntur dengan ekspresi sedih.

Lin menghela napas kasar, kemudian mengambil tasnya dan bergegas pergi dari kamarnya untuk berangkat sekolah. Lin berjalan ke arah tangga.

"Ayah Lin berangkat..." satu kalimat mengambang di seluruh ruangan besar dan mewah itu. Lin tahu, jika tidak akan ada yang menjawab ucapannya. Setiap ia akan berangkat sekolah, ia selalu mengucapkan kalimat itu dan berakhir dengan keheningan, tapi ia tidak peduli.

Terlihat Lin sedang menuruni tangga rumah itu sambil menenteng tasnya. Di ruang makan tampak seorang paruh baya sedang membereskan piring kotor, Bi Inah. Dan Lin menebak jika Ayahnya sudah berangkat bekerja.

Ruang makan memang bersebelahan dengan ruang tamu, jadi Lin bisa langsung melihat bi Inah setelah menuruni tangga.

"Mbak sarapan dulu.." ucap Bi Inah.

Lin tersenyum kemudian menjawab," Nggak usah Bi, Lin udah telat. Ayah udah berangkat Bi?" Lin bertanya, padahal ia sudah tau jawabannya.

"Udah mbak.." jawab Bi Inah merasa sedikit tak enak.

Ada sedikit rasa sesak yang mengguncang dadanya. Selama perceraian Ayah dan Ibunya pula, ia tidak pernah sarapan dengan Ayahnya sebelum berangkat sekolah atau hari-hari biasa. Lin bisa makan bersama dengan Ayahnya hanya saat malam. Dan itu Lin harus menunggu Ayahnya pulang dari kerja. Pernah suatu hari ia menunggu Ayahnya sampai jam 12 malam hanya untuk makan malam bersama Ayahnya. Bi Inah tidak ada, karena ia hanya bekerja pagi sampai siang saja.

Saat Ayahnya pulang ia mengatakan Lin makan sendiri dulu yaaa, jangan nunggu Ayah. Jaga kesehatan kamu. Sambil mengusap puncak kepala Lin kemudian pergi ke kamar.

Betapa sakitnya hati Lin. Padahal ia sudah memasak makanan kesukaan Ayahnya. Mata Lin berkaca-kaca. Malam itu, ia tidak jadi makan, membiarkan makanan di atas meja tanpa menutup atau membereskannya. Lin langsung masuk ke kamar dan mengunci pintu. Ia menangis semalaman.

Keesokan harinya, ia terbangun dengan mata sembab dan bengkak. Ditambah kantung mata hitam seperti panda. Bi Inah bertanya kepadanya tapi Lin menjawab tidak apa-apa.

Lin tersenyum karena tebakannya pasti benar. "Lin berangkat dulu Bi." ia berjalan meninggalkan ruang makan.

Sejak 8 tahun terakhir, Lin tidak pernah diantar lagi oleh Ayahnya. Terkadang Lin selalu iri dengan mereka yang akrab dengan kedua orang tua mereka. Nasibnya memang sangat tidak beruntung. Walaupun begitu, Lin selalu berpikiran positif. Ayahnya pasti bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan mereka. Mengingat itu, Lin menjadi frustasi. Bagaimanapun tidak akan ada orang yang mau mengingat masa lalu kelam seperti yang dialaminya.

Lin duduk di kursi teras rumah sambil memakai sepatu. Hanya 2 menit saja ia selesai memasangkan sepatu di kakinya. Ia masuk ke bagasi dan mengambil sebuah sepeda sport miliknya.

Sepeda pemberian Ayahnya 1 tahun lalu. Sudah lama Lin berangkat sekolah menaiki sepeda dan setiap tahun pasti Ayahnya selalu membelikannya sepeda baru. Tapi tahun ini Lin menolak dibelikan sepeda baru. Lagi pula sepedanya masih tampak bagus. Lin melihat satpam rumahnya pak Udin tersenyum ke arahnya dan membalasnya.

DAISYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang