Prolog

93 11 0
                                    

"Aku hanya ingin berlari ke arah sekumpulan kupu-kupu. Merasakan betapa bahagianya diriku di antara mereka. Dan melupakan sebuah fakta bahwa aku kesepian."

===oOo===

22 Desember 2010

Kaki itu terus melangkah ringan diiringi dengan senandung  kecil yang terus keluar dari mulutnya. Tangan kanannya tak pernah lepas dari sebuah tropi kuning bertuliskan 'Juara 1 Lomba Piano Tingkat Nasional'. Lina tersenyum saat melewati orang yang ia temui.

Ia berfikir pasti Ayah dan Ibunya sangat bangga kepadanya. Sangat disayangkan Ayah dan Ibunya tidak datang untuk melihat permainan pianonya. Tapi, ia sudah berjanji kepada mereka akan membawakan suatu kebanggan entah itu tropi atau melakukan yang terbaik.

Masih dengan bersenandung, sekarang rambut panjangnya terbang terkena angin. Ia melihat pagar besar warna coklat tua rumahnya. Tinggal beberapa meter lagi ia sampai. Lina semakin bersemangat untuk segera tiba di rumahnya.

Saat sampai di depan pagar itu, ternyata tertutup. Lina menarik pagar besar  dengan susah payah. Karena semangat yang ada dalam dirinya, akhirnya ia bisa membuka pagar coklat kayu itu. Saat Lina masuk, ia hanya bisa berdiri di tempatnya sementara matanya mengarah kepada seorang wanita yang ia kenali.

Elina terlihat membawa 2 buah koper. Ia belum menyadari kehadiran anaknya. Sedangkan Yuan sudah lebih dulu menyadari kehadiran Lina.

Lin berlari ke arah Ibunya, "Bunda mau kemana?" ucap Lin bingung.

Elina menatap anak kesayangannya. Ia kemudian berjongkok di depan Lin. Elina membelai kepala Lin.

"Wahhh dapet piala sayang?," sambil memandang genggaman Lin, "Lina hebattt, nanti kalo Lina udah besar jangan pernah berhenti punya mimpi." Elina terseyum.

"Inget Linakan kuat jadi ga boleh nangis apapun alasannya."

"Linakan punya Bunda." Lina mulai paham apa yang dimaksud Ibunya.

"Bunda ngga ada maksud ninggalin Linakan?" ucapnya dengan jatuhnya satu bulir air mata di pipi chubbynya.

"Sayang kan ngga boleh nangis anak Bunda," Elina mengusap air mata anaknya.

"Bunda nggak akan pergi kemana-manakan? Bunda masih mau sama Linakan?" Air mata Lin tidak dapat terbendung lagi. Ia mulai menangis.

Elina memeluk Lin, air mata yang sedari tadi ia tahan, kini mulai runtuh.

"Bunda ngga boleh pergiiiiiii...hiks...hiks...Lin janji ngga bakalan nakal...hiks...hiks...Lin janji nggak bakal main te...rus...tapi Bunda jangan pergiiii..hiks...hiksss..." Elina tidak menjawab ucapan Lin, ia mengeratkan pelukannya hatinya sakit mendengar penuturan anaknya.

Cuaca tiba-tiba mendung disertai guntur yang saling bersaut-sautan. Kilatan petir mulai terlihat. Seakan semesta tidak bisa membendung kesedihan dua insan yang masih berpelukan itu.

Butiran air sedikit demi sedikit jatuh. Membasahi apapun yang ada di bawahnya. Termasuk Lin dan Elina.

Elina melepas pelukannya, ia melihat Lina semakin menangis ditambah raungan suara dari mulut kecilnya.

Elina mengusap air matanya, ia tidak boleh rapuh di depan anaknya.Elina mengusap memegang kedua bahu anaknya.

"Lina dengerin Bunda, kalo hujan tiba Lin lihat pintu balkon. Bunda pasti ada di sana."

"Enggak...enggak Bunda ga boleh pergiii Bunda ngga boleh pergi." Lin menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Sayang inget kata-kata Bunda," Lin menatap Bundanya, "Gunakan senyummu untuk mengubah dunia. Jangan biarkan dunia mengubah senyummu." Elina mengusap kepala Lina kemudian mengecup keningnya lama.

Elina melepaskan kecupannya dan pergi berjalan ke arah pagar kemudian menutupnya.

Sedangkan Lin terjatuh masih menangis. Hujan semakin lebat, seragam putih merahnya sudah basah sedari tadi. Tropi yang ia genggampun sudah jatuh. Rambutnya yang panjang sebagian menutupi wajah imutnya.

"Bi tolong bawa Lina ke dalam," ucap Yuan setelah menonton mantan istri dan anaknya. Ia berbalik kemudian pergi dengan pandangan kosong.

"Baik tuan."

_____


TBC...

Hallo ini cerita pertama gw semoga suka yaaa...
Tinggalin jejak dengan memberi vote dan komen
Makasih...:)

Salam___

DAISYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang