8. Kisah mereka

9 0 0
                                    

Seandainya aku tidak membawa rasa mungkin tidak akan ada luka yang kian hari semakin terasa.


Pulang sekolah Keyn tidak kemana mana. Ia ingin langsung makan sebanyak mungkin. Bukannya lapar. Tetapi memang Keyn kalau suasana hatinya memburuk dia akan makan banyak.

Belum juga masuk rumah, Keyn sudah berteriak memanggil pembantu di rumahnya.

"Bi Amii! Makann! Keyn lapar."

"Aduh den, kenapa teriak teriak. Bibi belum budeg atuh."

Sebenarnya Keyn memanggil bi Ami bukan menyuruhnya melayaninya. Dia hanya ingin memastikan bi Ami sudah masak. Terbukti Keyn tidak duduk di meja makan, melainkan langsung menuju dapur dan mengambil sendiri nasi beserta lauk pauknya.

"Wahh! Ini rendangnya enak banget, Bi. Bakalan nambah ini."
Keyn makan begitu lahap sampai tidak menyadari kalau ayahnya pulang.

"Masih pakai seragam sudah makan?" sapa ayahnya begitu melihat Keyn begitu lahap menyantap makanannya.

"Ehehe, Keyn laparr! Yah, buruan makan. Nanti rendangnya keburu aku habisin."

Ayahnya hanya bisa menggelengkan kepalanya heran.

>>>>

Kini Kenzi disibukkan dengan ayam potong, meracik bumbu. Bukan di kafe mamanya, tetapi di rumah banteng berkepala hitam dengan tanduk transparan.

Ahh, menyebalkan.

Mengingat di jalan tadi, Kenzi yang tiba tiba memeluk Farel karena kecepatan motornya yang di atas rata rata. Rasanya, Kenzi ingin berteriak di depan muka Farel. Meninju mukanya. Pokoknya, Kenzi gemes.

"Kenzi! Masaknya jangan kelamaan keburu lapar. Ayam gorengnya harus enak. Kalau nggak, lo bakal disini selamanya." kata Farel dari ruang tengah yang terdengar cukup lantang di tempat Kenzi.

"Rumah kalian aja dekat gitu, Kenzi teriak emaknya dateng." kata Agas sambil memainkan gamenya. Kemudian terbahak dengan ocehannya tadi.

Ada Rimba juga yang ikutan mabar. Mereka biasa mabar di rumah Farel. Karena menurut mereka rumah Farel yang paling nyaman dan jarang ada orang juga. Bahkan saat ini, mama tiri Farel dan papanya sedang pergi ke London untuk menjenguk kakak tirinya yang kuliah disana.

"Haus, Rel."

"Minum, dong, Rimba. Eh, belum ada minum, ya?" Agas melihat sekilas meja di depannya dan masih kosong hanya beberapa camilan saja.

"KENZIII. Ambilin minum. Yang dingin. Nggak pake lama." matanya tetap fokus pada layar ponselnya, tetapi suaranya menggelegar disegala penjuru rumahnya.

Ingin sekali Kenzi menaruh bubuk racun di gelas mereka. Namun, apa daya.

Dengan langkah yang diseret Kenzi mengambil sebotol besar mineral dari kulkas. Juga tak lupa tiga buah gelas.

Sembari melangkah ia berimajinasi kalau saja ia bisa menuangkan air di botol ini tepat dikepala Farel, mungkin saja akan sangat seru. Ah, Kenzi sampai menahan tawa membayangkannya. Tapi mengingat ekspresi marah serta tatapan Farel, Kenzi jadi malas.

Malas diteriaki, malas disuruh suruh, malas dikerjai. Intinya dia seharusnya tidak pernah berurusan dengan orang semacam Farel.

Sudahlah, Kenzi ingin ini semua segera berakhir.

>>>>

Karena motor Kenzi masih berada di sekolah, pagi ini ia ingin meminta pertanggungjawaban Farel.


"FARELLLL!"

Tanpa mengetuk pintu, Kenzi dengan lantang meneriakkan nama cowok menyebalkan itu. Tidak peduli tetangga akan merutuknya disana. Masih belum ada jawaban sekali lagi dia berteriak kencang.

Sampai akhirnya pintu terbuka, Farel muncul dan segera membekap mulut Kenzi yang bersiap memeriakkan namanya lagi.

"Lo mau digrebek tetangga gara gara teriak kaya orang kesurupan gini?"

"Tangan lo bau. Lepasin!" Kenzi mencoba melepas tangan Farel yang membuatnya hampir tidak bisa bernapas.

"Lo gila, ya? Masih pagi udah rusuh." Merasa sia-sia Farel bergegas dari sana menuju garasi.

"Farel, gue nebeng." kali ini ucapan Kenzi sedikit merajuk.

"Gue hari ini mau pake sepeda."

"Bohong lo. Jangan bercanda ih,"

Ucapan Farel benar adanya, dia keluar dari garasi menuntun sepedanya.
Kenzi merasa sudah gila berhadapan dengan Farel.

"Ngga mau tahu pokoknya tetap nebeng. Gue bisa naik sini." Kenzi tidak pernah kehabisan akal untuk menghadapi Farel.

Dia membonceng dibelakang dengan posisi berdiri dan tangannya berpegangan pada pundak Farel. Lagi pula sekolah mereka tidak terlalu jauh dari rumah. Kurang lebih hanya 2 km.

"Terserah lo, Ken. Males gue debat sama lo. Awas ya lo berat gue turunin." Raut muka Farel memang tak seperti biasanya. Hari ini Farel terlihat muram. Tak bersemangat memarahi Kenzi seperti biasanya.

"Yaudah, ayo! Telat nanti."

"Ck."

Setelah menghembuskan napas panjang, Farel akhirnya mengayuh sepedanya.

>>>>>

Sepanjang perjalanan Farel hanya diam. Membuat Kenzi gemas, biasanya cowok itu selalu ngomel saat bersamanya pun Kenzi yang tak mau kalah. Apa suasana hatinya sedang tidak baik. Ah, kenapa juga Kenzi peduli. Tapi apa salahnya kalau bertanya.

Kenzi membuka suara, "Tumben lo diem? Cowok kaya lo punya masalah apa si?"

"Ngga usah sok peduli lo. Gue turunin, nih."

"Lo ngga dikasih uang saku, ya? Atau lo dihukum sama bokap lo?"

"Diem ngga gue turunin nih."

Farel menyebalkan. Kenzi kesal. Akhirnya sisa perjalanan menuju sekolah hanya diiringi dengan saling diam.





Setelah sekian purnama akhirnya bisa update lagi, huaaa😭😭

Gue sadar apa yang gue mulai harus diselesaikan. Dan gue akan berusaha menyelesaikan cerita ini. Dan juga cerita lain. Entah nanti hasilnya gimana.

Tenang, gue juga masih inget kok semangat dari dia😊

Tapi menurut gue semangat yang muncul dari diri sendiri Itu lebih berarti dan bikin kita bangkit dari keterpurukan dibanding semangat dari dia. Apalagi dia yang bukan siapa siapa kamu. Aishh😭😭

Sekian dulu😊
Semoga Sabtu depan bisa update lagi

Kenzi AreaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang