Bab 1 - Terlambat

342 24 1
                                    

Entah apa penyebabnya tiba-tiba jalanan menjadi sangat-sangat macet pagi ini. Sang surya sudah memancarkan sinar ultraviolet nya, membuat semua makhluk di bumi merasa kepanasan. Sang angin telah mengembuskan kekuatannya, membuat semua yang ada di bumi berterbangan, namun pengecualian untuk manusia dan juga benda-benda berat.

Suara klakson terdengar begitu nyaring di setiap sudut jalanan. Kendaraan beroda empat begitu padat, memenuhi semua jalan raya. Kendaraan roda dua pun saling berlomba-lomba untuk menyelip mobil-mobil itu, mereka bahkan memakai jalur pejalan kaki. Jika seperti ini terus, bagaimana kedamaian akan tercipta dalam kehidupan bermasyarakat ini?

Di bahu jalanan, nampak seorang nenek tengah kelimpungan, mencari celah untuk menyebrang. Namun si nenek tak bisa, para pengendara motor terus saja memakai jalurnya dengan kecepatan yang tak normal. Dimanakah moral rakyat saat ini? Melihat seseorang yang tengah kesusahan saja mereka hanya diam, bahkan bersikap acuh tak acuh. Maka kalian masyarakat Indonesia, jangan heran jika individualisme semakin marak dijaman reformasi ini.

Si nenek bertubuh bungkuk itupun melangkahkan kaki saat ia rasa sudah tak ada sepeda motor yang memakai jalurnya lagi. Namun belum genap satu langkah, sebuah motor melaju dengan kencang dari arah sisi kanannya. "Awas nek!" Tegur seorang gadis lalu menarik nenek tersebut dengan segera.

Si nenek terlihat begitu shock, ia memegangi dadanya tepat di bagian jantungnya. "Nenek gak papa kan nek?" Tanya gadis tadi. Gadis itu sangat panik, terlihat dari wajahnya yang memucat dan juga alunan nafasnya yang terkesan memburu.

"Alhamdulillah, nenek gak papa, terimakasih ya nak." Si nenek berucap lalu mengelus kepala sang gadis yang tertutup jilbab putih. Gadis itu memakai seragam putih abu, sepertinya ia hendak bergegas untuk ke sekolah.

"Nenek mau kemana, kenapa sendirian?" Tanya gadis itu lagi.

"Nenek baru aja dari pasar, sekarang nenek mau pulang," jawab nenek tersebut.

Gadis itu membuang nafas halus, "memang nenek gak punya anak, kenapa bukan anak nenek aja yang ke pasarnya?"

"Kebetulan nenek tinggal dengan cucu nenek dan dia sedang kerja, jadi mau gak mau nenek yang harus ke pasar. Asisten rumah tangga nenek juga lagi cuti."

Gadis itu nampak cukup prihatin, ia merasa iba pada nenek itu. Diusianya yang sudah cukup tua seharusnya ia mendapatkan kasih sayang dari anak-anak juga keluarganya. "Nama kamu siapa Nak?" Tanya si nenek kemudian karena gadis itu terus saja melamun.

"Nama saya Jihan Nek," jawab gadis itu sambil tersenyum, "ayo nek biar Jihan bantu menyebrang," ajaknya kemudian.

"Tapi nanti kamu telat loh sekolahnya," tolak nenek itu tak enak. Pasalnya waktu sudah menunjukkan pukul 07.45.

"Gak papa kok nek, Jihan gak akan tenang nanti kalau belu liat nenek nyebrang dengan selamat." Setelah mendapat persetujuan dari si nenek, Jihan pun menggenggam lengan sang nenek dan juga merangkul pundaknya.

Jihan menengok ke kanan dan kiri, ia memastikan bahwa tak ada kendaraan yang tengah melaju. Setelah dirasa cukup senggang, Jihan pun mengangkat lengannya ke sisi kananya, meminta pengendara memberikan mereka jalur untuk menyebrang. "Ayo nek," Jihan menarik halus sang nenek untuk mengikutinya menyebrang.

Akhirnya mereka pun sampai di seberang jalan, Jihan tengah menunggu taxi untuk sang nenek. "Nak Jihan," tiba-tiba sang nenek memanggilnya. "Cepat pergi saja ke sekolah, nenek bisa kok tunggu taxi sendiri." Jihan terlihat tengah berpikir, ia melihat jam tangan yang bertengger di pergelangan tangan kirinya.

"Sudah siang kan? Ayo cepat pergi ke sekolah," saran si nenek lagi.

Jihan menggaruk tekuknya asal, "tapi nenek gak papa?"

GardapatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang