Prolog

313 21 4
                                    

"Jatuh Membisu"

Seni mencintai tanpa suara. Mengutamakan rasa membunuh logika.
Sebuah pertunjukan drama kehidupan yang mencengkram. Sepi yang menghantui serta luka yang menggerogoti. Mereka saling berkolaborasi menciptakan lara mengerikan yang mengikis bahkan membunuh perlahan-lahan.

........

Semesta selalu memiliki berjuta cara untuk bercanda dan kau perlu tau bahwa semesta selalu bercanda dengan cara yang kejam. Persiapkan dirimu sebaik mungkin agar tak terjebak dalam jaring tawa semesta yang begitu garing. Batasi hatimu dalam berharap dan jangan terlalu membebaskan dunia halumu.

Kau boleh menganggap ini aksara tak berguna, kisah buruk rupa yang membuang banyak waktu untuk dibaca.
Aku tak pernah memaksamu untuk memahami setiap kalimat ataupun mencari makna yang ku siratkan. Pesanku, jangan pernah membaca cerita hanya dari prolog dan epilog, kau boleh berpendapat sesukamu, Kau juga boleh berasumsi dengan sudut pandangmu. Tetapi, kau tak bisa menyimpulkan hal yang hanya kau ketahui awal dan akhirnya saja.

-Delia Nayra Qeenyth

Aroma petrikor sisa hujan sore ini menyeruak dalam indra penciuman seorang gadis yang terduduk manis dibawah temaramnya langit malam. Angin berhembus sedikit kasar membuat hawa dingin menusuk kulitnya bertubi-tubi. Tatapannya sendu seakan mengisyarakan pilu yang begitu sembilu. Airmatanya luruh begitu saja dari mata sayunya.

Ia sedang berusaha keras menyangkal takdir. Mencoba meyakinkan diri bahwa ini hanya mimpi. Luka yang ia rasakan saat ini hanya sebuah sensasi dari lucid dream. Dimana ia bermimpi pada keadaan setengah sadar.

Ia membuang jauh tentang kemungkinan apapun itu nantinya sebab ini hanyalah dunia mimpi, terjadi atau tidaknya kemungkinan itu tak akan berguna baginya.

Beberapa detik kemudian kesadarannya menampar dirinya sendiri. Mengingatkannya bahwa ini bukan mimpi. Ini kenyataannya. Tetapi, raganya terus saja menyangkal, berontak serta menjerit histeris. Semesta tak mungkin setega itu pada dirinya. Tak mungkin semesta dengan kejam menghujamnya dengan luka yang perlahan-lahan mengikis bahkan menghancurkan dirinya.

Satu persatu seseorang dalam hidupnya pergi begitu saja. Entah itu membentang jarak ataupun membunuh rasa. Apakah dia kuat jika harus tinggal sendirian dalam kerumunan luka yang kapan saja selalu siap membunuhnya?

Dalam keheningan dia bergumam. "Aku tidak sekokoh pohon bakau yang tetap berdiri tegak meskipun diterjang ombak berlipat-lipat. Aku bukan rembulan yang masih mampu bersinar meskipun ditinggalkan ribuan bintang. Sudah cukup kau umbar kelemahanku kepada sang dewi malam dan deburan ombak. Aku tidak mampu lagi berdiri jika kau menambahi hujan untuk menertawakanku. Angin sudah cukup meluluh lantakkan kepingan lukaku, jangan kau tambah frekuensinya karena dapat menghempaskan tubuhku."

Kepergiannya memberkas luka yang begitu nyata. Semesta dengan tega memisahkan dua orang dalam jeda yang berspasi panjang. Bahu ternyamannya telah hilang diterkam jarak. Salah satu sumber utama kebahagiaanya telah kering terhisap waktu. Seburuk apapun keadaannya nanti dia harus menanggungnya sendiri. Pada dasarnya seseorang memang harus selalu siap dengan kehilangan yang akan singgah kemudian pergi mengambil seseorang dalam kehidupannya.

"Gulita malam ini menjadi saksi senduku atas kepergianmu. Lihat. Bahkan langit malam membenci kepergianmu meskipun rembulan sialan itu masih sempat-sempatnya bersinar yang seakan menyiratkan tawa kebahagiaan. Cepatlah kembali dan bungkam semesta ini. kita ukir tawa dalam pahatan wajah ini bersama-sama agar melodi hujan itu terdengar merdu kembali tanpa secuilpun luka kerinduan," ujarnya sembari menitikan air mata.

Jatuh MembisuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang