DUA

80 10 0
                                    

Sinar matahari menelusup dengan lihai pada celah jendela. Pagi menyambut hari dengan begitu semangat. Embun menggelayut manja pada dedaunan. Daun kering yang sudah teramat rapuh jatuh bersama tetesan embun yang sudah tak mampu ia tampung.

Deli menuruni anak tangga satu per satu dengan malas. Tidak ada yang dia lakukan pada saat libur seperti ini kecuali menonton, makan dan rebahan. Biasanya Aira mengajaknya keluar, namun gadis itu sedang ada acara keluarga.

Dahinya mengeryit bingung melihat wanita berumur sekisar 38 tahun itu menyeret sebuah koper. Gadis itu memutar bola matanya malas. Hembusan napas kasar terdengar dari rongga hidungnya. Dia sudah mengira bahwa ibunya akan ke luar kota. Lagi-lagi dia menjadi sosok yang dinomor duakan. Setidak penting itukah dirinya? Hatinya sering kali bertanya-tanya, apa sesulit itu meminta perhatian dari orangtua?

Rasa iri tak dapat lagi Deli pungkiri dengan mereka yang dengan mudahnya mendapat perhatian dari orangtuanya. Setiap kali gadis itu melihat seorang anak yang mendapat perhatian lebih dari orangtuanya, dia hanya mampu tersenyum getir.

Dengan cepat ia berlari menaiki anak tangga lalu masuk kembali ke dalam kamarnya. Niat awal dia urungkan begitu saja. Tangisan terbingkai bisu mengisyaratkan pilu yang begitu sembilu itu kembali pecah. Lukanya bertambah biru karena hadirnya luka baru. Tubuhnya luruh di balik pintu. Sepagi ini dia harus merasakan perih? Harapan tentang keindahan hari ini runtuh begitu saja.

"Bang, Deli kangen," rintihnya di sela-sela isakan tangisnya.

Kabar Ray yang tak lagi terdengar sejak seminggu yang lalu membuat Deli uring-uringan. Sudah tak ada lagi yang dapat ia jadikan tempat sandaran. Sejak Ray pergi, hidupnya seakan benar-benar sendiri. Meskipun masih ada Fano, Fasal dan yang lainnya. Tetapi, tetap saja tanpa Ray hidupnya tak akan pernah lengkap.

Dalam kesunyian gadis itu menikmati kesendiriannya. Terlihat tenang namun mencengkeram. Jejak airmata di pipinya masih terlihat begitu jelas. Bersama sunyi dia menikmati luka yang terus saja menghujam dirinya. Lelah. Deli sudah lelah, namun dia tak seharusnya menyerah. Lelah adalah pertanda bahwa tubuh perlu istirahat bukan peringatan untuk menyerah.

Hatinya sering kali merintih kesakitan. Meraung dalam kebisuan. Jika bisa bersuara mungkin ia akan menjerit kesakitan sekeras mungkin. Lara dan luka terus saja menggerogoti tubuhnya. Hanya sepi yang mau mendengar raungan kepedihannya. Tembok menjadi bahu ternyaman setelah bahu milik Ray untuknya bersandar.

"Non, sarapan dulu. Bibi sudah masakin makanan kesukaan Non Deli," ujar seseorang dari balik pintu.

"Taruh di lemari aja, Bi. Nanti kalo Deli pengen makan, Deli keluar," sahutnya dengan suara serak

"Baik, non." Dari dalam kamar gadis berambut sebahu itu tersenyum miris.

***

"Fokus, Fan! Besok kita tanding lawan MIPA 1, masa lo gak fokus gini sih," ujar Ferrel.

Entahlah Fano juga tidak tau mengapa hari ini fokusnya buyar. Ada sesuatu yang mengganjal perasaannya. Terselip nama Deli dalam pemikirannya. Atau mungkin, ada hal buruk yang menimpa gadis itu?

Kini mereka sedang berada di lapangan basket. Setiap hari minggu memang jadwal mereka untuk berlatih basket. Berawal dari hobby kemudian menjadi bakat. Fano, Ferrel, dan Fasal merupakan anggota tim basket inti SMA Budi Negara. Kini mereka sedang berlatih untuk persiapan pertandingan antarkelas besok.

Jatuh MembisuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang