03

176 109 97
                                    

"Ini untukmu, datang ya!"

Tersisa satu undangan lagi, entah kepada siapa Chela harus memberikannya tampaknya semua orang yang dikenalnya sudah ia beri.

"Jadi, yang satu ini untuk siapa?"

"Aku tidak tau, Jeane."

Tepat ketika itu seseorang yang sangat tidak diharapkan muncul diantara keduanya. "Hai, wanita pengganggu!"

"Astaga, kamu lagi?" geram Chela.

"Siapa dia?" Jeane berbisik pelan.

"Ini, Jansen, lelaki tengil yang kemarin bertemu di perpustakaan." Chela memperkenalkan pria tengil kepada Jeane.

"Apa, tengil? Apa tidak ada julukan yang lebih bagus lagi?" Jansen merasa tidak terima dirinya dibilang tengil karena menurut versinya dia tidak seperti itu.

"Kamu juga seenaknya mengganti namaku," tandas Chela, kertas undangan digenggamannya hampir saja robek akibat menahan emosi terhadap pria tengil.

"Wah, apa ini?" Melihat kertas berkilauan ditangan Chela langsung saja Jansen menarik kasar kertas itu.

"Sweet seventeen?" Jansen membaca keras tulisan yang menonjol.

"Kembalikan!"

"Tidak, ini undangan untukku, kan?" Jansen memegang kuat undangannya.

"Ya, ambil saja itu memang sisanya semua orang sudah mendapatkannya," Jeane menimpali dengan polosnya.

"Oke, aku akan membawa kejutan untukmu tenang saja," Jansen kemudian melengos sambil bersenandung.

"JEANE!" gemeletuk gigi Chela membuat Jeane meringis.

***

"Apa keadaanmu lebih baik?"

"Ya tentu."

"Syukurlah aku sangat mengkhawatirkanmu." Mike menatap lembut Austryn menyiratkan kekhawatiran yang tak biasa.

"Aku harus ke toilet, permisi." Setelah itu Austryn lenyap ditelan bingkai pintu kelas.

Kenapa dia selalu menghindar?

Bugh!

Kepalan tangan kanannya menghantam dinding toilet. Rambut sebahunya sengaja ia jambak menjadi rontok sebagian. Raganya lelah hatinya pun rapuh. Apakah keadilan tidak pernah mau berpihak kepadanya?

***

Tepat pukul 20:30 kursi-kursi yang berjejer telah dipenuhi teman, kakak kelas, dan saudara Chela. Semuanya tampak rapi dibalut pakaian mahal bergaya konglomerat.

"Hai, Chel!" sapa Jeane diujung meja.

"Kamu cantik sekali, Chel, seperti Putri Bella," Jeane berdecak kagum mengingat kembali dongeng yang pernah ia tonton.

"Tentu saja karena bantuan make up!" celetuk seseorang.

"Jeane? Kenapa pria tengil ini bersamamu?"

"Dia yang meminta, ayolah ini hari ulang tahunmu jangan marah-marah, okey!" Jeane memohon.

Jansen hanya mengedikan bahu kembali menyantap hidangan di meja.

"Chel, bersiaplah sebentar lagi acara tiup lilin akan dimulai," Austryn datang mengingatkan dengan diikuti Mike dibelakangnya. Ya, Chela sengaja mengundang Mike dan beberapa kakak kelasnya yang bisa dibilang Chela kenal.

"Baiklah."

***

Tiga puluh detik menuju tengah malam. Kue tart, lilin, keluarga, teman, dan tentu saja sahabatnya. Semuanya lengkap. Ini malam terindah dalam hidupnya. Kebahagiaan menyelimuti membungkus dalam luka masa lampau. Tiga puluh detik menuju kedewasaan semoga semuanya baik-baik saja.

Happy birthday  to you
Happy birthday to you
Happy birthday, happy birthday
Happy birthday Zyeina

Bibi Meeg mengangkat sebelah alisnya menyadari Chela yang terdiam. Lima detik terlewatkan dengan kebisuan yang tak berarti.

"Ada apa, sayang?" Bibi Meeg menepuk pelan bahu Chela.

"Tiuplah, temanmu sudah menunggu!"

"Tap-"

Baiklah, Bibi Meeg, benar semuanya sudah menunggu lilin ini padam. Chela manatap tart nya lamat-lamat lalu mulai menghembuskan nafasnya. Dua tiga lilin sudah padam, satu lagi hembusan nafas lilin terakhir akan padam. Belum genap lilin padam Chela tersentak.

Dorrr!

"Astaga!"

Seketika lampu padam diikuti angin yang berhembus kencang. Lampu hias yang tergantung indah pecah berceceran. Kini, lilin itu padam dengan bantuan angin. Jeritan anak-anak lain menambah kegaduhan tengah malam.

Kak Austryn.

"Semuanya tenang ini akan baik-baik saja!" seru Jansen tegas.

"Are you kidding me? Ini tengah malam mana mungkin kita bisa tenang!"

"Baiklah, tetap berpegangan dengan teman kalian!"

Chela tak lagi menghiraukan kegaduhan di belakang. Gadis itu membiarkan langkahnya mengambil alih. Dia yakin suara itu ada di halaman belakang. Semoga saja ini semua tidak benar.

Pikirannya berkecamuk, dia tahu sejak tadi Austryn tidak berdiri tepat di sebelah bibi nya seperti yang ia janjikan. Dengan langkah yang tergopoh-gopoh Chela berusaha membuka sepatu highills-nya ia melemparkan ke sembarang arah. Dengan penerangan dari ponselnya, sekarang gadis itu tapat di bibir halamam belakang.

Kosong. Tak ada siapapun. Sampai sinar ponsel mengarah tepat pada pot yang berjejer rapi Chela benar-benar terkejut. Seseorang tergeletak kaku.

Ah, sial rasa penasarannya menarik Chela untuk mendekat. Rasa khawatirnya membuncah. Chela tahu ini gila dia tidak akan pernah menerima kenyataannya. Tapi bagaimanapun dia harus memastikan.

Sepatu snikers, baju hitam dengan celana jeans. Itu...bukan Austryn.

"Kak Mike," suaranya lirih bahunya bergetar.

Sebuah peluru tertancap telak di dadanya, dengan kepala bersimbah darah. Luka-luka kecil turut menghiasi paras tampannya. Tidak, itu bukan luka melainkan bekas cakaran yang kecil namun dalam membuat daging nya membudal keluar. Darah merah segar memenuhi rumput hijau halaman belakang.

Chela membeku ditempat. Tungkainya mendadak lemas, kepalanya pusing, perutnya mual dan perih.

"Chela!"

Jansen dan Jeane menemukannya. Mereka mendekat dengan sebuah benda pipih di genggamannya. Chela berbalik sebelum mereka benar-benar mendekat.

"Astaga, Chela, kamu menangis?" Jeane yang melihat pipi sahabatnya basah mendekat dengan cepat.

"Apa yang kamu lakukan?" Mereka membelalak tak percaya.

Seorang mayat dengan bagian tubuh terkoyak, bagaiman bisa?

***

Petunjuk penggunaan:
Tambahkan ke library✔
Tekan bintang lalu ketik sesuatu pada kolom komentar✔

Terimakasih😂❤

Tbc









The AchilleasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang