05

124 73 44
                                    

"Berhenti!!" Chela benar-benar kesal saat ini. Pria itu benar-benar menyebalkan, tak tahu apa semakin dia bicara semakin sakit hatinya.

"Itu hanya dugaanku, tak apa jika kamu tak mau mendengarnya," Jansen berkata ringan dengan wajah datar membingkai.

"Dugaan bodoh. Sebaiknya kamu pergi sekarang juga!" bentak Chela frustasi.

Jansen berdiri hendak meninggalkan ruang tamu keluarga Bibi Meeg. Dengan wajah datarnya dia berbalik menuju pintu keluar.

"Chel, maafkan aku. Lain kali tak akan lagi aku datang bersamanya." Jeane menekuk wajahnya, dia merasa bersalah atas ucapan dan tingkah Jansen yang sangat menyebalkan.

"Itu bukan salah kamu." Chela mengulurkan tangannya menggenggam kedua lengan Jeane dengan lembut.

"Akan ku pastikan pria tengil itu menyesali perkataannya," tukas Jeane meletup-letup.

Setelah itu Jeane berpamitan pulang merasa tidak enak juga jika terlalu lama disana. Mungkin rasa malu atas tindakan Jansen yang membuat Jeane pulang lebih cepat.

"Kakakmu dibawa oleh binatang buas ditempatkan di tempat yang buruk dan bisa saja dia dijadikan sebagai tumbal. Kak Mike yang melihat itu berusaha meyelamatkannya namun na'as dia lebih dulu diserang dan meninggal ditempat."

Ah, sial perkataan Jansen berhasil mendominasi pikiran Chela. Setelah kepergian sahabatnya, Chela lebih banyak melamun. Gurauan yang terlontar dari mulut mereka tadi tak berefek lebih untuknya.

"Bodoh, kenapa juga aku harus memikirkan ucapan sialan, Jansen," Chela mendengus kasar menghapus bulir air mata yang jatuh.

***

"Beritahu orang tuamu dengan segera, ini sudah melewati batas pembayaran. Jika bulan depan masih tidak ada terpaksa ibu tidak akan memberikan kartu ujian." Alis yang tebal dengan bibir merah pekat serta sanggul tingginya membuat kesan tegas pada perempuan yang usianya hampir berkepala empat.

Ruangan kecil dengan satu paket meja dan kursi yang diperkirakan hanya dapat menampung dua sampai lima orang didalamannya. Dengan terpaksa Jansen harus terjebak disana menghadapi guru tua menyebalkan. Tiga bulan tidak membayar tunggakan guru itu sudah berkicau memanggil Jansen untuk menghadap beliau.

"Baik bu, akan saya sampaikan."

Jansen keluar dengan keringat dingin dikeningnya. Cukup tegang menghadapi perempuan tua itu sendirian. Jam istirahat seperti ini perpustakaan adalah tempat yang pas untuk mengalihkan rasa laparnya. Siapa yang tahu dibalik ketengilannya, Jansen, adalah seorang pria yang rela mengorbankan makan siangnya demi menghemat uang jajan.

Jansen menyusuri rak buku yang berjejer rapi hendak menuju barisan belakang tempat biasa ia mendengkur.

"Astaga!" Pria itu terkejut mengusap dadanya pelan.

"Kenapa? Terkejut dengan kedatanganku?" gadis berambut sebahu itu manatap tajam Jansen menembus iris biru miliknya.

"Huh, tidak sama sekali." Jansen melangkah gontai menuju kursi panjang disebelah Jeane. Dengan gerakan cepat Jeane menarik kerah baju Jansen.

"Kamu ini kenapa?" pria itu berbalik kecut.

"Aku? Seharusnya kamu yang kenapa? Dimana perasaanmu pria tengil, ditaruh didengkul?" Jeane tertawa namun bukan tawa jenakanya melainkan tawa sinis nan kecut.

"Aku sedang tidak minat bertengkar," Jansen menyibak kasar lengan Jeane melepaskan tarikan di kerahnya.

"Chela menangis karena ulahmu!"

"Sudah ku bilang itu hanya dugaan, lagi pula aku tak serius mengatakan itu." Jansen mengambil beberapa buku untuk ia sampirkan di wajahnya ketika hendak tidur.

The AchilleasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang