Chela benar-benar panik melihat kondisi lelaki di hadapannya. Pasalnya Zeo adalah lelaki kuat yang biasa memperlakukan orang lain seenaknya, tapi berbanding terbalik dengan kondisinya sekarang yang bisa dibilang hampir sekarat."Bertahanlah, aku akan mencari bantuan."
Chela benar-benar frustasi semua saran Jansen tidak masuk akal. Meminta bantuannya sama saja dengan bermain kincir, berputar-putar tanpa ada titik terang.
Di sisi lain keadaan Zeo semakin mengenaskan. Darah segar keluar dari hidungnya, pun dengan bibir yang sepenuhnya membiru.
Jarak antara hutan dan rumahnya masih sangat jauh, akan sulit memapah pria dewasa ditengah remangnya bulan dengan jalan yang dominan turunan tajam.
Keadaannya sangat darurat, jika terus dibiarkan bisa saja nyawa Zeo tak terselamatkan. Bagaimanapun Chela harus membantunya karena Zeo salah satu teka-teki yang harus ia selesaikan, pikirnya.
"Jansen, bisakah aku mempercayaimu?"
Sejenak kening pria itu mengkerut. "Tentu saja."
"Apapun yang terjadi nanti tolong jangan beritahu siapapun."
"Tentu sesuai permintaanmu," seru Jansen pasti.
Harapan satu-satunya kini tinggal cincin yang tersemat di jarinya. Semoga saja kejadian di dapur bersama bibi Meeg bukan suatu kebetulan melainkan benar adanya bahwa cincin ini bisa menjadi penyembuh.
God, bantu aku kali ini saja.
Chela mulai memejamkan matanya lalu mengarahkan jemarinya diatas tubuh Zeo. Cincin bersinar beberapa saat kemudian redup kembali. Zeo terbatuk seiring dengan kelopak matanya yang terbuka. Perlahan suhu tubuh Zeo membaik tidak sedingin sebelumnya. Bibirnya pun kembali memerah.
"Kau baik-baik saja?"
"Apa ada yang aku lewatkan?" ucapnya datar seolah tidak terjadi sesuatu sebelumya. Tubuhnya kembali segar bahkan luka bekas tancapan busur pun menciut seketika. Paru-parunya kembali bernafas dengan teratur.
"Syukurlah, mari kita pulang. Aku sudah sangat lelah," pungkas Chela.
"Tunggu, apa yang kau lakukan padaku?"
"Akan kujelaskan setelah cukup istirahat." Chela kemudian bangkit. "Jansen, mana sepedamu?"
Jansen diam membisu masih mencoba mencermati setiap kejadian mengejutkan yang baru saja dia lihat. "Eh...em ada di sana." Chela mengikuti arah pandang Jansen.
"Terima kasih, semua pembuktian ini sudah cukup jelas. Siapkan dirimu kau akan tau banyak hal esok." Zeo mencekal lengan Chela sejenak menatapnya lekat dengan sorot yang berbeda, bukan lagi sorot ketidakpedulian ataupun permusuhan melainkan tatapan hangat persahabatan.
***
"Bagaimana rencana kita?" Tudung hitamnya ia eratkan sempurna menutupi bagian wajah.
"Sesuai keinginan anda, Tuan."
Kekehannya terdengar samar, menandakan jika ia senang mendengar hal itu. Aura kegelapan kembali menyelimuti semakin hitam dan pekat. Apapun akan dia lakukan demi keberhasilan rencananya.
"Buat si darah campuran itu berguna! Aku tak mau ada sedikit celah." Sentakan tajamnya terdengar hingga langit-langit membuat angin terhenyak sesaat.
"Baik, Tuan. Bagaiman dengan Sphinx itu? Aku khawatir ada Nypmh hutan yang mengetahui hal tersebut." Lelaki dengan banyak kerutan itu memandang gamang lawan bicaranya.
"Hera akan mengatasinya."
"Anda melibatkannnya, Tuan?" Raut terkejutnya tak bisa ia sembunyikan.
Tak ada jawaban hanya tarikan di sudut bibir yang terlihat mengerikan.
***
"Hey, tunggu!"
Langkah kakinya semakin memanjang dihentakan secara cepat. Minimnya lalu lalang membuat Chela mudah menghindari pria itu. Sesuai dugaannya Jansen menguliti Chela dengan beragam pertanyaan. Nyaris terjatuh, badan kekar dihadapannya muncul dibalik persimpangan.
"Ashhh, demigod sialan."
Pria itu mendesis tak suka, meninggalkan Chela yang berusaha menyeimbangkan badan. Chela tak terlalu menghiraukannya ia kembali melangkahkan kaki. Terlambat, cekalan tangan membuatnya terhuyung.
"Kau tidak bisa menghindariku!" ancamnya.
"Aku tidak peduli. Lepaskan tanganku!"
Ingatkan Chela jika Jansen adalah manusia bumi dengan tingkat ketengilan tak terhingga. "Dimana kau mendapatkannya?"
"Apa?"
"Cincinmu."
Untuk beberapa kali Chela menghembuskan nafas kasar. Merupakan kesalahan besar menyimpan sepercik kepercayaan padanya.
"Ayolah, aku juga ingin memilikinya." Seperti bayi ia merengek.
"Kita sudah membicarakan ini sebelumnya jadi berhentilah seperti itu!"
Sepertinya kali ini nada bicara Chela terlalu tinggi, jika tidak mana mungkin pria tengil itu diam membisu. "Baiklah, bagaimana jika aku bertanya tentang pria yang hampir sekarat itu?"
Menyebalkan, pertanyaan Jansen semakin menyudutkan Chela. Jika saja boleh akan Chela buat angin besar untuk menerbangkannya.
"Cincinmu bersinar, apa yang akan kamu lakukan?"
Raut wajahnya memerah, semilir angin menghempas wajah menerbangkan rambutnya yang terurai. Pucuk-pucuk daun bergoyang ditemani daun yang berguguran terhempas angin. Bak tsunami debu-debu berterbangan oleh angin sebagai perantara. Semua siswa berdiri kaku menghadap semesta yang seolah berinteraksi.
Astaga, yang benar saja Chela hanya sedang mengumpati Jansen tak bermaksud lebih. Tapi nyatanya cincinnya bersinar. Apakah ini berarti sesuatu?
Kegelisahan tampak kentara diantara ratusan siswa. Siapa sangka cuaca cerah dengan mentari yang bersinar hangat mampu berubah dalam hitungan detik.
Tidak, Chela tidak tahu cara menghentikannya. Semakin lama pusaran angin semakin terbentuk menerbangkan berbagai selebaran di papan informasi. Ketakutan membuncah di setiap penjuru. Manampar kesadaran Chela atas kecerobohan yang baru saja ia lakukan.
"Apa ini karenamu?"
Gadis itu bergetar menatap nanar sekitar. "A..aku tidak tau."
"Hentikan ini, kau tau kan biaya bangunan sekolah mahal?" Leluconnya bahkan tak terdengar semestinya.
Jansen menarik kasar Chela menjauhi persimpangan koridor, pusaran angin itu semakin besar ia tak mau mati konyol di sana. Untuk sementara aula menjadi tempat penghentiannya sejenak. Percuma jika mereka berlari ke arah gerbang karena dapat dipastikan hiruk pikuk ratusan siswa tengah memenuhi pintu keselamatan itu.
"Kenapa setiap bersamamu aku selalu diambang kematian?"
Sungguh ucapan Jansen sangat tidak membantu. Kenapa dia tidak terbang bersama--Oke, cukup kali ini Chela tak ingin sesuatu buruk terjadi lagi.
"Jansen aku tidak bisa menghentikannya."
"Apa? Bagaimana bisa? Kau yang membuatnya, bukan?"
Chela tau Jansen bukan orang yang dengan mudah peduli sekitar tapi jika menyangkut keselamatan dirinya mustahil dia akan tinggal diam. Chela merasa bodoh, hidupnya menjadi aneh karena cincin ini. Ingin sekali ia mengakhiri semua keanehan ini tapi nyatanya ia terikat takdir yang sudah Tuhan tetapkan.
Angin semakin menderu menerbangkan beberapa atap bangunan. Semakin menjadi-jadi teriakan sejumlah siswa terdengar hingga aula sekolah. Intrupsi sejumlah guru tak lagi dihiraukan.
Chela merasa tertekan hingga suara halus menelusup diantara daun telinganya. Layaknya bisikan dengan pesan yang tersampaikan.
***
Long time no update wkwk XD Semoga suka😚 Jangan lupa vote, comment, dan share ke temen kalian:)
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
The Achilleas
FantasySiapa yang tak mengenal Achilles? Seorang pahlawan yunani dalam perang troya. Anak dari nimfa laut yang diperebutkan oleh Zeus dan Poseidon. Achilleas atau Achilles berasal dari bahasa yunani, achos, yang berarti rasa sakit. Namun catat, ini bukan k...