10

71 39 19
                                    

"Masuklah dengan begitu kau bisa kembali melihatnya."

"Temui ibumu sekarang sebelum semuanya terlambat."

Sebuah rintihan kesakitan dan keputusasaan terdengar lirih. Sayup-sayup bisikan semakin mendominasi pikiran pria itu.

"Ambil dan bukalah." Sekali lagi hembusan nafas halus menggelitik pendengaran. Memaksakan otak dan hati yang saling bertolak belakang.

Tangannya semakin terjulur meraih sebuah kotak tanpa pengait kunci. Membuat mudah bila ingin membukanya.

"Tinggalkan atau keburukan akan menghantuimu!" Suara lain yang tak asing ikut berbisik. Lebih keras dan lebih terasa nyata.

Tubuhnya limbung kepalanya berputar terus-menerus. Rambutnya serasa ditarik hingga mencapai akar. Seluruh tubuhnya terasa terbakar. Pandangannya mengabur seiring dengan suara petir yang menusuk telinga.
 
Kini kelopak matanya terbuka sempurna, keringat dingin bercucuran. Dengan nafas yang tersengal Zeo berusaha meraih ponselnya di nakas. Pukul 03:13 waktu yang selalu sama ketika dia terbangun.

Zeo mengacak rambutnya frustasi. Dia sudah lelah air matanya kering tak dapat lagi ia keluarkan. Mimpi ini selalu tampak nyata.

***

Suara pekikan menembus semak belukar sekitar. Pohon tinggi menjulang dengan daun rimbun menutup sinar rembulan.

"Tolong, siapa saja tolong kami...argh."

Jeritan kesakitannya kian nyata. Suara cabikan terdengar membabi buta. Auman demi auman bersahutan. Pesta besar sedang berlangsung. Para werewolf lapar dengan kalapnya mengigit, merobek, dan mencabik mangsanya dengan kalut. Beberapa orang pria dengan dua wanita tengah merasakan kesakitan yang amat mendera. Sebagian diantara mereka tubuhnya telah terkoyak habis. Sementara sisanya hanya mengigil ketakutan.

Zeo mengintip dibalik pohon besar. Belasan werewolf lapar tak bisa dengan mudah ia kalahkan. Mereka akan semakin kuat mengingat ini bulan purnama. Mereka bukan sebatas srigala biasa mereka lebih mengerikan dari itu. Zeo meraba saku celananya. Sial, dia lupa membawa pistol. Akan sangat sulit mengalahkan kumpulan werewolf  tanpa menggunakan peluru perak. 

Tiga tersisa, dua lelaki dengan sebatang kayu ditangannya dan seorang perempuan yang berlindung di balik punggung lelaki itu. Para werewolf itu semakin mendekat pukulan sebongkah kayu tidak berpengaruh besar.

"Jangan, aku mohon jangan lakukan itu." Wanita itu meraung kencang tatkala melihat satu temannya kembali tumbang. Mungkin sebentar lagi mereka akan berubah wujud menjadi bagian dari kawanan werewolf.

"Tetap tenang dan teruslah berada di sampingku."

"Tidak bisa, lihatlah sekeliling kita!"

Ketika moncong srigala itu semakin mendekat dan hendak mencabik kedua tubuh ringkih didepannya, beberapa panah melesat. Para werewolf terkejut namun tidak sampai tumbang.

"Let's play!" Zeo melepas busur panahnya dengan cepat. Tak ada yang bisa dilakukan selain menghambat pergerakan mereka.

"Menjauhlah, cepat!"

Mereka berlari menjauh, meninggalkan Zeo dengan sekumpulan werewolf yang siap menerkam.

"Come on!"

Dengan gerakan cepatnya Zeo menguliti para werewolf itu dengan busur panahnya yang sudah diberi racun. Melesat, menghilang, dan tembak. Itu luar biasa dalam hitungan beberapa menit para werewolf itu limbung.

"Baiklah pesta sudah seles-"

Argh!

Zeo merasakan perih di punggungnya. Rasa panas menjalar dengan cepat. Seekor srigala menancapkan kembali panahnya pada Zeo sebelum srigala itu benar-benar lenyap. Punggunya mati rasa dengan bagian sekitar yang terasa panas membakar, ini pasti efek racunnya. Seketika Zeo menghilang.

The AchilleasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang