04.

136 99 68
                                    

"Apa yang kamu lakukan?" Mereka membelalak tak percaya.

Seorang mayat dengan bagian tubuh terkoyak, bagaiman bisa?

Chela hanya menunduk dalam menggelengkan kepala pun rasanya sangat berat. Air matanya keluar tanpa diperintah. Hatinya sakit walaupun dugaannya salah tapi apakah semua ini akan baik-baik saja?

"Dia sudah pergi, ayo kita akan butuh ambulan!" Jansen menepuk pelan bahu Chela.

"Tidak, Bibi Meeg, akan histeris melihat ini."

"Terus? Apa kamu akan membiarkan mayat ini membusuk?" Jansen melipatkan tanganya di dada.

"Jansen benar mayat ini harus segera di evakuasi, Chel," Jeane mengusap bahu Chela pelan menyiratkan bahwa semua nya akan baik-baik saja.

"Cepatlah, mereka semua sudah pulang tenang saja."

Semua lampu kembali terang. Kue tart-nya hancur mungkin karena tidak sengaja tersenggol. Terlihat Bibi Meeg dan Paman Sam tengah membereskan semua kekacauan yang terjadi.

"Bibi, Paman," Jansen membuka suara.

Chela dan Jeane mengatupkan bibir. Dalam persetujuannya Jansen lah yang harus memberitahu Bibi dan Paman, Chela.

"Kau membohongiku, Nak?" Paman Sam terkekeh tak terkejut sama sekali. Mungkin dia menganggap ini hanya lelucon tengah malam.

"Itu benar, Paman," suara serak Chela dengan pipi yang berderai air mata sudah cukup membuat keduanya percaya beranjak menuju halaman belakang.

***

"Sudahlah, ini sudah berakhir." Pukul dua dini hari Jeane tetap setia menemani Chela.

"Kak Austryn, Jeane," gumannya lirih.

"Kita akan menemukannya kamu jangan khawatir!" Tangan Jeane yang lembut dengan senyumnya yang tulus selalu bisa membuat hati Chela tenang.

"Kenapa tidak ada pistol disana?"

Jeane membulatkan matanya, "ayolah ini bukan saatnya membahas itu," ketusnya tajam. Entah apa yang membuat pria tengil itu masih tetap berada di rumah Chela. Dan menyebalkannya dia di izinkan untuk menginap disini.

***

Aku bodoh, aku benci diriku sendiri. Membiarkan rasa ini tumbuh sama saja aku membunuhnya perlahan. Dia pria baik, aku tak ingin menyakitinya. Tuhan adilkah ini untukku? Ya, aku lupa tuhan memang tak pernah mau memberikan keadilannya padaku.

"Aku tau kamu mempunyai rasa yang sama sepertiku."

"Tidak, kamu keliru," ucapku dengan senyum yang menutupi luka, kebohongan, dan kepedihan. Aku tak pernah ragu dengannya, semua yang dia lakukan selalu membuatku merasa benar-benar hidup walau hatiku telah mati sejak lahir. Jadi, wajar saja dia ragu padaku.

"Kenapa kamu selalu menyiksa perasaanmu seperti ini?" Tangan lembutnya menangkup wajahku. Kening kami bersentuhan menyisakan jarak yang tak seberapa.

"Apa perlakuanku kurang?" imbuhnya lirih.

Ah, itu tidak benar. Perlakuanmu lebih dari cukup. Andai saja dia tahu bahwa dia selalu membuatku berdebar setiap harinya, selalu membuatku gila menahan semua ini. Dan sekarang desiran aneh itu muncul kembali, jantungku dibuat bekerja lebih keras, hal yang kubenci selama ini ternyata aku sendiri mengalaminya.

"Aku mencintaimu," bisiknya.

Hembusan nafasnya membuatku terbuai, menarik keluar ragaku. Ini gila sungguh gila. Sisi lain dari tubuhku keluar, semakin besar cinta ini maka semakin membudal pula rasa ingin membunuhnya.

The AchilleasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang