2

20.5K 1.2K 15
                                    

2
 ——

Jasmine berlari kecil menyusuri trotoar. Sesekali ia melirik arloji. Waktu menunjukkan pukul sepuluh malam. Jasmine ingin mempercepat larinya, tapi dengan sepatu hak tujuh senti, sepertinya hal tersebut mustahil dilakukan jika ia tidak ingin mematahkan pergelangannya.

Setelah hampir kehabisan napas, akhirnya Jasmine tiba di tempat yang ia tuju. Ia memandang pintu kaca restoran yang tertutup. Dengan sebelah tangan memegang tas, ia membungkuk, bertumpu pada kedua lutut dan bernapas dengan kasar.

Butuh satu-dua menit sampai akhirnya napasnya kembali normal. Jasmine menegakkan badan, meraih cermin dari dalam tas, merapikan riasan dan rambut pirang madu sebahunya, kemudian melangkah masuk ke dalam restoran.

Jasmine mengedarkan pandangan ke seluruh restoran yang tidak terlalu ramai. Seketika matanya menangkap sesosok mengenakan kemeja dengan lengan yang digulung hingga ke siku dan beberapa kancing bagian atas yang terbuka, duduk dekat meja paling pojok.

Pria itu melambaikan tangan. Jasmine tersenyum lebar, balas tersenyum dan berjalan cepat ke arah pria tampan berambut pirang tersebut.

“Ben, maaf,” kata Jasmine begitu tiba di meja pria itu lalu menarik kursi dan duduk.

Benson, pemuda berusia 25 tahun yang telah bersahabat dengan Jasmine sejak di bangku kuliah itu, tersenyum dan menggeleng samar. “Tidak apa-apa. Lembur lagi?”

Jasmine mengangguk.

“Sampai kapan kau akan bekerja seperti ini, Jass? Kau bahkan hampir tidak punya waktu untuk diri sendiri,” ujar Benson sambil menatap Jasmine dalam-dalam.

Alih-alih marah, hati Jasmine melambung tinggi mendengar teguran kecil Benson yang menyiratkan kepedulian, yang selalu membuat hatinya berbunga-bunga. “Gajinya tinggi,” kata Jasmine ringan. “Maaf kau harus menunggu lama. Apakah kau sudah makan?” Jasmine melirik gelas minuman yang hampir kosong di depan Benson.

Benson menggeleng. “Aku menunggumu.”

Jasmine tersenyum lebar. “Kalau begitu sebaiknya kita segera memesan makanan, aku sudah lapar.”

Seorang pelayan datang, menyerahkan buku menu pada Jasmine dan Benson, lalu mencatat pesanan keduanya.

Setelah beberapa saat, pesanan minuman mereka diantarkan. Cokelat hangat untuk Jasmine, sementara Benson yang sejak tadi minum cokelat hangat saat menunggu, kini memesan kopi hitam.

Jasmine menyesap minumannya sambil memperhatikan raut wajah Benson yang tampak berseri-seri.

“Kau tampak sedang senang, naik jabatan?” tanya Jasmine. Benson menjabat sebagai manajer penjualan di sebuah perusahaan otomotif.

Benson tertawa. “Tidak.”

“Lalu?” kejar Jasmine penasaran.

“Kau ingat Claudia?”

Kedua alis Jasmine hampir bertaut mengingat-ingat sosok pemilik nama tersebut. Sebentuk wajah cantik berambut pirang pucat yang dikenalkan pada mereka saat pesta ulang tahun Ravienna, salah seorang teman kuliah mereka dulu, melintas di benaknya. Jasmine mengangguk. “Adik sepupu Ravienna, kan?”

Benson mengangguk membenarkan. “Tepat sekali.”

“Ada apa dengan dia?”

Benson menyeringai senang. “Kami menjalin hubungan.”

Seketika seluruh rona meninggalkan wajah Jasmine. “Apa?”

“Kau tidak salah dengar, Jass. Kini kami sepasang kekasih. Claudia wanita yang sangat memesona. Sejak awal berkenalan dengannya, aku sudah terpikat.”

Jasmine sebisa mungkin menyembunyikan perasaan sedihnya. Selalu seperti ini. Sekian tahun ia mengharapkan Benson akan meliriknya, tapi pria itu justru tak henti-henti menjalin hubungan dengan wanita demi wanita. Sampai kapan ia harus menunggu Benson menyadari arti kehadirannya sementara hatinya terus berdarah setiap kali pria itu menjalin hubungan baru dengan wanita lain?

Hubungan Benson dengan kekasih-kekasihnya hampir tak pernah bertahan lama. Meski bukan playboy, Benson sendiri juga tidak pernah sendiri untuk jangka waktu lama. Selalu dengan cepat pria itu menemukan pengganti. Seharusnya Jasmine lega karena itu artinya Benson tidak serius dengan wanita-wanita tersebut, tapi tetap saja hatinya sakit.

“Jass?” Benson mengangkat alis melihat keterdiaman Jasmine.

Lamunan Jasmine buyar. Ia memaksakan seulas senyum. “Ehm! Selamat, Ben.”

***

Bersambung...

Evathink

Fake Relationship [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang