Arisya mengerjapkan matanya perlahan, rasa pening begitu terasa.Cahaya lampu langsung menyorot penglihatannya. Bau bau obat menguar di penciuman gadis itu.
Kerongkongan arisya kering, arisya mencoba menggapai air minum yang tergeletak dengan manis di meja samping brankar nya. Namun naas, gelas itu terjatuh lebih dahulu, sebelum tangan arisya menggapai secara menyeluruh.
Suara pecahan gelas itu membuatnya memejamkan mata. bayangan kepergian sang ayah langsung memenuhi pikiran gadis yang memakai pakaian rumah sakit itu. Rasa sesak langsung menguasai dirinya.
Arisya melepas jarum infus yang berada di tangan kanannya kasar, hingga menyebabkan darah langsung bercucuran. Tetapi, ia tidak perduli, sekarang yang diinginkan dirinya hanyalah sang ayah. Arisya turun dari brankar. Berjalan terseok seok menahan rasa pening yang menyerang kepala nya. Arisya menatap sekeliling, mencari keberadaan gibran. Biasanya, bila dirinya sakit, gibran adalah orang pertama yang sangat khawatir pada arisya.
Satu persatu air mata turun dari pelupuk arisya. Tidak ada! Gibran tidak ada disana. Berarti mimpi buruk nya semalam adalah benar. Arisya terduduk di lantai rumah sakit yang dingin. Ia tidak memperdulikan tatapan kasihan padanya. Arisya semakin menangis tergugu. Ia sadar bahwa hidupnya sekarang akan berubah 180 derajat berbalik.
Arisya merasakan pundaknya di cekal seseorang. Arisya menoleh, mendapati arasya yang masih mengenakan seragam nya berada disana. Tangis arisya semakin tergugu, ia memeluk tubuh arasya, mencari ketenangan darinya. Hanya pelukannya sekarang yang menjadi ketenangannya setelah pelukan gibran. Dan sekarang tubuh ringkih itu telah kehilangan satu pelindungnya.
Arasya segera membawa arisya kembali ke kamar inap gadis itu. Meletakkan diatas berankar, dan menyelimuti sampai dada. Arasya mengelus kepala arisya pelan. Dan perlahan mata gadis itu tertutup disertai napas yang teratur. Menandakan bahwa dirinya telah berpindah ke alam mimpi.
Arasya menggenggam tangan arisya, membawa tangan itu ke mulutnya. Mengecup lembut. Genggamannya semakin kuat, seakan pria itu tidak mau kehilangan arisya.
"Rasya janji, rasya bakal selalu ngelindungin risya, apapun yang terjadi" ucapnya pelan.
Arasya menjatuhkan kepalanya pada brankar arisya. Mengikuti gadis itu ke alam mimpi.
***
Sore ini, arisya dinyatakan boleh meninggalkan rumah sakit oleh dokter. Namun, gadis itu masih tetap murung sedari tadi. Dan arasya tahu apa penyebabnya.
"Bengong aja, ayo pulang sya" arasya mencoba mengajak bicara arisya. Arisya menoleh, kemudian berucap. " ada papa nggak, dirumah" .
Arasya menghela napasnya lelah, ia mencoba bersabar mengahadapi kekerasan kepalanya Putri keluarga trombunais itu.
"Sampai kapan risya kayak gini? "
"Maksudnya"
"Sampai kapan risya kayak gini" arasya mengajukan pertanyaan kembali. Arisya menggeleng.
"Rasya udah capek bujuk risya, sekarang tinggal risya aja gimana" ucapnya telak. Arasya berjalan mendahului arisya dengan membawa tas gadis itu. Arisya mengerjap kan matanya pelan, ia kemudian bergegas turun dari brankar dan berhasil menggapai tangan arasya.
"Rasya jangan capek, risya janji bakal berubah" arisya takut, takut kalau satu satunya pelindung yang ia punya akan meninggalkan nya seperti gibran. Arasya tersenyum kemudian mengangguk. Ia menggapai kepala arisya. Mengalungkan tangannya pada leher arisya.
"Ayo pulang" ajak arasya kembali. Arisya mengangguk, ia sudah lebih baik sekarang.
Mereka berdua berjalan bersama di lorong rumah sakit, berbelok ke sebelah kanan untuk bisa mencapai parkiran. Keduannya memasuki mobil, arasya memasukkan kunci dan menggerakkan mobilnya keluar dari area rumah sakit.
"Ras kita ke pelita rehabilitasi dulu ya"pinta arisya. Arasya menggeleng. Bagaimana bisa gadis yang baru saja sembuh memaksakan dirinya untuk menyembuhkan orang lain.
"Ayolah ras, kemaren risya belum sempat pamitan sama aren" bujuknya. Arasya menggeleng, ia tetap melajukan mobilnya ke arah perumahan mereka.
"Rasya udah bilang sama aren" . Arisya mengerucutkan bibirnya. Ia belum siap kembali ke rumahnya sekarang.
Arasya menghentikan mobilnya. Ia menggenggam tangan arisya, menatap tepat di manik mata coklat arisya. "Masalah itu buat dihadapi, bukan malah lari".
Arasya kembali melajukan mobilnya. Benar apa yang diakatakn arasya. Ia tidak boleh lari dari masalah. Sekarang yang ia punya hanyalah sesil. Dan ia tidah boleh menyia- nyiakannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
arasya dan arisya
Teen Fictionarisya menyukai arasya. arisya mengagumi arasya. arisya menyukai apapun tentang arasya. Ini kisah tentang Arasya stefhano maurer Dengan Arisya shakira trombunais Mempunyai nama yang sama, tinggal di komplek yang sama, masuk kedalam kelas yang sa...