Bab 4

3.1K 410 50
                                    

Indra adalah lelaki dewasa yang matang, sematang usianya. Dia sudah sangat percaya diri. Berharap langsung diterima, tapi diminta menunggu. Saat dia berdia menunggu, ternyata dipatahkan.

Indra terlampau percaya diri karena ini yang pertama baginya. Dia belum pernah pacaran. Jangankan pacaran, mendekat saja dia tidak. Tidak ada waktu dan modal untuk memanjakan anak orang atau mungkin jodohnya orang juga.

Usia mudanya dihabiskan untuk belajar dengan sungguh-sungguh dan bekerja. Dia tidak bersekolah di tempat favorit, tapi nilainya mampu membuatnya irit. Tidak hanya beasiswa, bonus juara lomba dia dapatkan juga.

Indra adalah bibit unggul di keluarganya. Dia yang masih usia sekolah bisa membagi waktu dengan baik. Dia sangat sadar diri sebagai anak lelaki, paling tua, dan beradik perempuan dua. Dia harus belajar mandiri sejak belia. Itu yang didongengkan ayahnya semasa kecil.

Saat semester 5 tengah-tengah, dia terpaksa mundur dari bangku kuliah. Ayah yang menjadi tulang punggung keluarga meninggal dunia. Ibunya sudah melarang, tapi Indra tak mau mendengar.

Hari ini, Indra tetap mengambil paket di rumah produksi Adriani. Dia bukan anak kemarin sore yang termehek-mehek kemudian menghilang karena keinginannya tak tercapai. Tidak. Sekali lagi, Indra adalah lelaki matang. Dia memang tidak bisa mengontrol emosi saat itu juga seperti Adriani, tapi Indra mampu menata kepingan hati dengan cepat kemudian menyiapkan solusi yang paling tepat.

Seperti sekarang. Indra sudah menemukan solusi untuk rasa kecewanya. Adriani kemarin menolak tanpa memberi alasan. Indra bisa menerima jika alasan itu diungkapkan. Namun, karena Adriani tidak menjelasakan, Indra pun merasa berhak bertahan.

Mungkin terdengar egois, tapi Indra tak ada pilihan. Tancapan di hatinya mulai mengakar, tidak mudah untuk menghilangkan tanpa alasan. Lagi pula, bagaimana dia bisa melepaskan Adriani dari benaknya jika setiap hari dirinya masih berkeliaran di sini. Mudah, sih. Berhenti menjadi kurir atau ganti rute, tapi Indra tidak ingin.

Sisi hati Indra benar-benar tak ingin meninggalkan Adriani. Perempuan itu sudah merebut satu sisi hatinya yang paling penting. Selain itu, dialah satu-satunya perempuan yang dia izinkan masuk ke hatinya. Jadi, untuk keluar, Indra meminta alasan kuat. Bukan alasan yang dibuat-buat.

💞💞💞

"Im, seragam yang dua macam kemarin itu, yang marun pakai pet, yang pink nggak pakai, ya. Jangan ketuker."

"Yang itu sudah hampir selesai, Mbak," jawab Naima sambil memeriksa kain untuk seragam yang dipesan grup salawat. "Ini yang untuk grup salawat itu, Mbak? Ini Balotelli, 'kan?"

"Iya. Emang Balotelli." Adriani tertawa menanggapi raut Naima, antara bingung dan ... heran, mungkin.

Pelanggan yang memesan seragam kali ini memang tidak seperti biasanya yang memilih bahan biasa agar bisa menekan harga. Pemesan seragam salawat ini minta bahan balotelli grade A+ yang kualitasnya memang nggak bisa dibohongi. Gamis dengan bahan Balotelli jenis ini akan tetap adem dan nyaman.

"Jarang-jarang, ya, ada seragam minta kain ini." Naima menutup ucapan dengan cengiran.

"Eksklusif, ya." Adriani menanggapi dengan tawa lebar meski tanpa suara. "Orangnya minta yang bagus, sih. Hati-hati sortirnya. Jangan bikin kecewa."

Naima menjawab dengan mengacungkan jempol tangan kanannya. Adriani memang terlihat agak kuyu hari ini, tapi tidak mengurangi kejelian dan ketegasannya dalam bekerja. Para partnernya tidak ada yang berkomentar karena sikapnya tetap sama seperti biasa, ramah meski tetap tegas. Senyumnya juga masih bertahan meskipun tidak seceria biasanya.

"Mbak, Mas Indra minta tanda tangan." Sabila muncul di depan pintu agak berteriak karena suara dalam ruangan produksi memang agak bising.

"Mana?" Adriani mengulurkan tangan bersiap menerima berkas yang akan ditandatangani.

"Eh, tak taruh meja Mbak Adri. Lha, biasanya begitu, 'kan?"

Hem .... Adriani menghela nafas dalam lalu mengembuskannya kasar. Kalau menuju ruang admin artinya harus melewati pintu dan teras depan admin. Dia pasti bertemu Indra karena lelaki itu merekap paketan di sana.

Eh, ngapain juga takut ketemu. Toh, dia tak ada apa-apa dengan Indra. Semua harus berjalan normal seperti sebelumnya. Iya. Harus begitu.

💞💞💞

"Siang, Mbak." Indra lebih dulu menyapa saat melihat Adriani keluar dari pintu ruang produksi.

Adriani tersenyum canggung menerima sapaan yang terasa ... biasa saja. Sangat biasa, tapi kenapa rasanya ada yang nggak biasa di hatinya. Ah, Indra saja bersikap normal. Dirinya pun bisa. Adriani membatin.

"Mbak Adri terlihat seperti kurang tidur." Adriani spontan mengarahkan telapak tangan ke pipinya. Tidak ada yang aneh. Adriani menoleh ke belakang. Khawatir Naima dan Sabila membuntuti. Dia tidak mau kelakuan Indra yang tidak biasa ini ketahui mereka atau lainnya. Adriani tidak ingin timbul fitnah.

"Aku tanda tangani berkasmu dulu." Adriani mengalihkan topik bahasan kemudian melangkah ke dalam ruang admin. Tidak menghiraukan Indra yang masih menatapnya lekat.

Itu yang disukai Indra. Adriani selalu bisa menahan diri. Indra tahu, perempuan itu mati-matian menahan diri untuk marah padanya. Namun, dia bisa mengendalikan diri. Meskipun, mungkin lain cerita jika mereka hanya berdua saja. Seperti kemarin, perempuan itu mampu berucap pedas dan mengusirnya dari ruangan. Tidak masalah. Setidaknya tidak mengumbar amarah di depan banyak orang karena sama saja dengan mengumumkan aib sendiri dan aib lawan bicaranya. Indra semakin mengidamkan Adriani.

"Mas, ojo senyum-senyum sendiri. Nyoh kertasmu." Sabila menyadarkan Indra dari lamunan. Indra tak sadar jika lamunan singkatnya membentuk bibirnya hingga tersenyum. Malu rasanya tertangkap basah.

"Sip." Indra mengambil kertas yang diulurkan Sabila.

"Kamu masih lama, Mas? Mau aku tambah tehnya?"

"Nggak usah." Indra menggelang sambil meneruskan rekapan yang sempat dia abaikan karena melamunkan Adriani.

Selesai merekap, Indra meminta Agus memasukkan paket-paket tersebut ke dalam boks mobil. Dia membantu memasukkan beberapa paket kemudian mendekat ke arah ruang admin. Berniat pamit.

Kurang selangkah dia mencapai pintu, tubuhnya terlonjak saking kagetnya karena matanya menatap Adriani yang berdiri di depan pintu juga. Mereka sama-sama terkejut.

Wajah Adriani sama sekali tidak ramah. Tatapannya nyalang mengarah pada Indra, sedangkan Indra tersenyum jahil menanggapinya. Adriani tetap tidak mengubah raut wajah.

"Jangan marah, Mbak. Aku hanya mau pamit. Biasanya begitu juga, toh?" Indra memulai percakapan.

"Iya. Silakan," jawab Adriani singkat.

"Aku pamit. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Indra berbalik setelah mendapat jawaban salam. Setelah berjalan 2 langkah menuju mobil, dia berbalik badan lagi. Kembali mendekati Adriani.

"Terima kasih jawabanmu kemarin, tapi aku nggak bisa mundur, kecuali ada laki-laki lain yang muncul dan memperkenalkan diri sebagai calon suami." Indra langsung pergi dengan langkah cepat setelah menyelesaikan kalimatnya dan mengerling sekilas.

Adriani justru berdiri mematung di depan pintu dengan menahan gemuruh di dadanya. Tangan kanan dan kirinya mengepal. Lagi-lagi dia hanya bisa memejamkan mata dan menghela nafas dalam untuk menenangkan dirinya. Hampir saja dia meneriaki kurirnya dengan sebutan "gila" jika tak ingat dia sedang di mana. Baru dua hari. Namun, Adriani benar-benar dibuat gila olehnya.

💞💞💞

Helah ....
Aku nggak mau janji lagi, deh.
Nyatanya aku masih up malam aja.

Semoga bisa dinikmati, ya.
Jangan hobi jadi pembaca sider.
Kalau nggak mau komen, tekan bintang udah cukup.
Biar aku juga kenal siapa kamu.
Iya, kamu yang di sana itu.

19 Juni 2019


Jangan Dekat-dekat!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang