Bab 8

2.3K 298 14
                                    

"Mau nggak mau, suka nggak suka, kita harus ngikuti maunya karena ini juga ulahmu."

"Ulahku gimana? Aku nggak berbuat apa-apa," kilah Indra. Dia memang ada urusan pribadi dengan bos konveksi itu, tapi selama bekerja, dia selalu berlaku profesional. Kalau terkait beberapa obrolan pribadi di saat bekerja ... ya, anggap saja sebagai selingan. Apa itu yang dipermasalahkan?

"Dia bilang kamu nggak pro(fesional), Bro." Tony mulai menunjukkan nada kesalnya setelah beberapa saat menahan. Kawan sekaligus penyokongnya ini ternyata bisa juga berulah. Sekali berulah, hampir mengancam "kakap"-nya lepas.

"Berlebihan," ucap Indra lirih, tak ingin didengar Roni. "Terserah kaulah, Bro," putusnya kemudian. Seharusnya tak boleh menyerah, tapi mau apa lagi? Ngeyel pun tak akan bisa. Roni akan terus memaksa karena Adriani memang salah satu pengirim dalam jumlah besar. Posisi konveksi perempun itu memang bisa menjadi penguat ekspedisi yang mereka kelola. Jadi, kalau sampai "kakap" itu lepas, Roni pasti mencak-mencaknya lebih dari ini.

"Nah, oke, ya. Kamu tukar mobil sama Tony."

Indra menyatakan setuju dengan mengangkat alis dan mengembuskan nafas kasar. Adriani benar-benar menganggapnya musuh. Namun, lelaki ini tetap tak bisa mundur. Apalagi, hanya untuk bersaing dengan Pras. Baru mulai saja, Indra sudah menjadi pemenang. Eh, yakinkan dulu jurinya, baru jumawa. Batin Indra menasihati. Adriani dianggapnya juri sekaligus pemberi hadiah. Ada-ada saja.

"Lagi pula, kamu apain bos konveksi itu sampai marah-marah di sini? Kamu pepet dia?" cecar Roni. Tatapannya tidak lepas dari Indra. 

Indra tak menjawab. Dia menikmati duduknya di depan Roni. Tangan kanannya memainkan kunci mobil boks yang selama ini dia kendalikan. Sebentar lagi, kunci itu akan terganti dengan yang lain.

"Serius? Dari sekian banyak wanita, kenapa kamu incar dia?" tanya Roni beruntun, sepertinya tak ingin melepas Indra sebelum mengorek apa saja yang kurirnya itu lakukan pada Adriani. Dia bisa menyimpulkan sendiri jawaban atas pertanyaannyyang diabaikan Indra. "Ei, ei, ei, jangan bilang karena tergiur hartanya. Pintar juga. Kamu bisa santai bermandi u, au! Kira-kira kalau lempar!" Roni mengaduh saat kepalanya menjadi landasan kunci mobil boks. Segebok kunci versus kepala. Indra agak keterlaluan.

"Ekspedisi ini untungnya bisa jalan meskipun kau pimpin. Kalau enggak, kau yang jadi kurir, aku yang duduk di situ!" Indra tak ingin menanggapi ocehan Roni. Belum waktunya dia mengumumkan apa pun yang terjadi antara dia dan Adriani. Bukan hanya dirinya yang rugi karena akan dijadikan bahan gosip beberapa pekerja di ekspedisi. Indra juga bertanggung jawab menjaga nama Adriani karena bagaimanapun, nama pemilik konveksi itu akan terbawa ketika berita ini menyebar. Indra tidak suka dan tidak akan membiarkan itu terjadi.

"Wo, wo, wo, santai, Bro. Dugaanku benar, 'kan?" Roni masih belum menyerah.

"Bukan urusanmu. Aku udah kirim pesan ke Tony. Ganti rute mulai pekan depan. Kita meeting sebentar sore nanti." Indra mengalihkan pembicaraan mereka. Roni benar-benar akan mengulitinya jika obrolan tidak dibelokkan.

"Eh, kok jadi kamu yang berperan sebagai bos?" Lelaki dengan bibir tipis di depan Indra tak terima karena selama ini dialah yang didaulat sebagai pemimpin di agen ekspedisi mereka.

"Ck, hanya ke Tony. Yang lain urusanmu." Indra tak ambil pusing atas protes Roni.

"Ha ha, kusut banget mukamu, Bro. Tenang, Bro. Jodoh pasti nempel. Usaha pantang kendur."

"Satu saja ada anak ekspedisi tahu, kita ganti posisi!" ancam Indra.

Roni kembali tertawa lebar. Ancaman Indra tak akan jadi kenyataan karena Indra memang sejak awal tak ingin disibukkan dengan urusan administrasi ekspedisi. Itu sebabnya dia mengambil posisi sebagai kurir meskipun penyokong dana agen ekspedisi ini adalah Indra. Roni adalah pemimpin yang digaji Indra. Namun, meskipun Roni tahu itu hanya berupa ancaman tanpa tindakan, tak ada niatan untuk benar-benar membocorkan apa pun yang menjadi rahasia Indra. Selama bertahun-tahun berkawan, Roni tahu, Indra tidak akan bicara sebelum membuktikan kesungguhannya.


💞💞💞

"Lho? Mas Indra mana?" Sabila celingukan mencari Indra. Matanya mencari ke belakang Tony yang sedang berdiri di depannya.

"Mulai hari ini, saya yang nangani konveksi ini, Mbak. Mas Indra pindah rute," jelas Tony menghentikan aksi Sabila yang menoleh ke kiri dan ke kanan.

"O .... Kenapa tiba-tiba diganti?" tanya Sabila sedikit menyelidik dan tak terima. Tatapannya beralih pada Tony. Matanya mengamati Tony yang berdiri kurang nyaman karena merasa diintimidasi.

"Wah, nggak tahu, Mbak. Saya hanya menjalankan perintah Mas Roni."

Sabila manggut-manggut mendengar jawaban Tony. Kurir baru ini tampak lugu. Sedetik kemudian Sabila menormalkan tatapan. Tak ada yang perlu diperpanjang. Bukan urusan Sabila juga. "Terus, Mana resi kemarin?" tagih Sabila sambil menengadahkan telapak tangan kanan.

Tony mengulurkan resi yang diminta Sabila. "Kenalkan, Mbak. Saya Tony," ucapnya sebelum Sabila berbalik.

Sabila agak terkejut menerima ajakan perkenalan yang tiba-tiba dari lelaki yang dianggapnya lugu. Namun, meski begitu, dia tetap membalas uluran tangan Tony sambil tersenyum tipis. "Sabila," jawabnya. "Langsung rekap aja, ya, Mas. Aku bawa ini ke Mbak Adri," lanjutnya memberi perintah.

Tony tersenyum mengiyakan ucapan Sabila. Dia segera memosisikan diri duduk di antara paket-paket yang akan dia angkut.

💞💞💞

"Siap?" tanya lelaki melalui sambungan seluler.

"Sudah. Langsung ketemu di toko saja, ya? Bawa mobilku lagi?" tanya si perempuan yang sehari sebelumnya mengabari ingin ditemani belanja.

"Iya. Aku naik taksi ke sana," jawab si lelaki lagi.

"Oke." Sambungan diakhiri oleh si perempuan. Setelah memasukkan ponsel ke dalam tas kecil, dia menyambar kunci mobil yang ada di pojok kanan meja kerja, merapikan jilbab dan gamisnya, kemudian keluar ruangan. Senyumnya masih bertahan sejak membaca nama dalam layar ponselnya beberapa menit yang lalu.

💞💞💞

Selamat membaca ....
Semoga tidak bosan, ya ....

3 Juli 2019

Jangan Dekat-dekat!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang