Bab 2

4.1K 425 29
                                    


Selesai membersihkan diri dan salat isya, Adriani duduk di depan cermin. Rambutnya dibiarkan tergerai. Dia pandangi wajahnya. Hidung lancip meski tidak bangir. Mata biasa saja. Tidak indah seperti artis. Kulitnya tidak terlalu putih meskipun tetap terawat dan tanpa jerawat. Simpulannya, wajahnya biasa saja. Tidak cantik.

Dia tengokkan kepala dan badan ke kiri dan ke kanan. Badannya memang cukup ideal, tidak gemuk ataupun kurus. Adriani tersenyum sendiri menyadari tingkahnya yang aneh. Sudah lama dia tidak mengamati dirinya sedetail ini.

Gadis yang beranjak tua karena bilangan usianya melampui 31 tahun ini masih heran dengan pengakuan Indra. Dari mana asal muasal lelaki itu terpikat padanya. Apa alasannya. Adriani lupa satu hal tadi. Kenapa juga tadi tidak menanyakannya langsung. Rasa syok dan debar jantungnya yang menggila membuatnya tidak bisa berpikir atau sekadar mengorek alasan. Otaknya terlanjur tak mampu mengolah apapun selain bingung.

Tidak kurang dari 10 tahun dia menutup diri dari laki-laki. Sebenarnya tidak sepenuhnya dia menutup diri. Hanya saja, usaha yang dia rintis memang membutuhkan fokus yang maksimal. Beberapa kali orang tuanya bertanya tentang calon suami, tapi Adriani tidak pernah merespons dengan serius. Sungguh. Dia masih belum siap kala itu.

lalu, sekarang, lelaki yang tak disangka-sangka muncul dengan sendirinya dan langsung mengajaknya menikah. Adriani masih tak percaya dengan pernyataan kurirnya tadi. Namun, mau tidak mau, siap tidak siap, dia harus memberikan jawaban.

Mau dijawab apa? Menerima? Adriani menggeleng-gelengkan kepala. Tidak mungkin. Menikah artinya menjalani kehidupan suami istri dan ... tentunya akan ada .... Adriani tak mampu melanjutkan bayangannya. Ini tidak pernah ada dalam benaknya. Terlalu ... menggelikan.

Adriani masih menyelisik satu per satu bagian wajahnya. Dia bergegas menguncir rambut saat terdengar pintu diketuk yang diiringi suara panggilan dari ibunya.

Setelah menjawab singkat. Dia bersiap keluar kamar untuk makan malam. Namun, sedetik kemudian, layar ponselnya menampakkan satu pesan masuk dari nama yang biasanya bertukar pesan tentang paketan.

Adriani urung bangkit dari tempatnya. Dia menyapukan sandi pada layar kemudian menekan pesan untuk membacanya.

*(Kurir) Mas Indra*
Mbak, jangan terlalu dipikirkan.
Aku tidak terburu-buru.
Yang penting aku sudah bilang.

Adriani menghela nafas kasar. Iya. Memang tidak harus terburu-buru, tapi tidak tahu juga harus menjawab apa dan bersikap bagaimana. Tiba-tiba saja ada rasa jengkel yang bercokol di hatinya.

"Aku sangat serius, Mbak. Usiaku juga sudah tidak muda lagi. Bukan waktunya untuk bermain-main." Ucapan Indra sebelum meninggalkan ruang admin kembali terngiang. Lalu, malam ini, berjarak beberapa jam saja, lelaki itu mengatakan tidak terburu-buru. Jadi, itu artinya masih ada waktu untuk memikirkannya, bukan?

Adriani tidak ingin gegabah. Bagaimanapun, Indra sudah lama bekerja sama dengannya dan, ya, dia bersikap baik selama ini.

💞💞💞

Indra lega. Akhirnya hari ini tiba. Sudah lama dia mengamati. Adriani adalah perempuan baik. Selama ini, tidak pernah dia melihat perempuan itu marah-marah. Sekesal apa pun, Adriani bisa mengontrol dirinya untuk tetap bersikap baik. Setiap ada kekeliruan atau tidak puas dengan kerjaan partnernya, dia dengan sabar mengingatkan dan membimbing.

Adriani terlihat sangat mahir dalam mengontrol emosi. Indra membayangkan. Betapa bahagianya bisa menjadikan perempuan itu sebagai ibu dari anak-anaknya.

Setelah keluar dari ruang admin tadi, dia memang dibuat sedikit kecewa karena cincin yang dia pesan sejak lama dan dia ambil siang tadi sampai terlambat datang ternyata harus kembali masuk ke saku celananya. Adriani tidak mau menerima selama masa berpikir. Sampai waktunya tiba, saat dia memberi jawaban, cincin itu baru menemukan nasib, melingkar di jari Adriani atau selamanya menghuni kotak beledu coklatnya.

Indra sedang bersantai di kamar. Dia tinggal di rumah peninggalan bapaknya bersama ibu dan adik bungsunya. Rumah lawas ini lumayan luas. Ada 4 kamar. Masing-masing muat diisi satu ranjang beserta kasur, lemari pakaian sederhana, dan meja beserta kursinya. Cukup ideal untuk kapasitas mereka.

Udara malam di daerah Karangploso memang cocok untuk bersantai. Dingin, tapi sejuk dan jauh dari polusi. Meskipun Karangploso termasuk daerah pabrik dan jalan poros Malang-Surabaya, tapi suasananya tetap adem tentrem karena udara yang tetap seger.

Indra menghirup udara dalam sambil memejamkan mata. Merasakan kesegaran udara hingga melegakan paru-parunya. Udara segar malam ini memenuhi kamarnya karena daun jendela dia biarkan terbuka.

Membayangkan raut wajah Adriani siang tadi membuat sudut bibir lelaki berusia 35 tahun ini melengkung ke atas. Lucu dan menggemaskan. Wajah yang biasanya serius, tapi ramah itu berubah menjadi panik dan bingung. Indra tidak membayangkan reaksi perempuan itu akan sebingung itu. Prediksinya, Adriani akan syok, tapi tetap serius, bukan bingung.

Ah, iya. Dia perlu menenangkan perempuan itu. Indra meraih ponselnya yang tergelak di atas meja di samping tempat tidur. Mengetik beberapa kalimat kemudian mengirimkannya. Ini adalah pesan pertamanya yang tidak membahas paket ataupun kain.

Lama Indra menimang ponsel, berharap ada balasan. Tanda centang dua abu-abu itu sudah berubah warna menjadi biru sejak beberapa detik dia mengirim pesan. Itu artinya Adriani langsung membacanya. Namun, kenapa tidak membalas. Apakah pujaan hatinya itu sedang gugup dan malu untuk menjawab? Atau ... sedang bertambah bingung. Indra kembali gemas membayangkannya.

"Mas, ditunggu ibu. Diajak makan bareng itu, lho." Teriakan adiknya membuyarkan bayangan wajah yang tidak seharusnya terus-terusan dia nikmati.

Indra beranjak dari baringnya. Bergegas menemui ibu meskipun kabar baik yang akan dia sampaikan belum bisa dia bagi malam ini.

💞💞💞

"Nduk, Eko tadi ke sini. Dia titip salam buat kamu."

Adriani urung memasukkan nasi dan sambal klotok kesukaannya. Dia menatap ibunya sebentar kemudian kembali mengangkat sendoknya. Meneruskan makan.

"Kamu lak yo wes cukup untuk menikah. Nunggu apa lagi, to?"

Entah hari ini apa yang salah. Tiga tempat yang dia tuju membahas hal yang sama. Adriani sadar benar ini pasti akan dibahas selama dia belum bersuami, tapi kenapa harus dalam hari yang sama?

Eko. Siapa yang dimaksud ibu. Dia merasa tidak punya kenalan yang bernama Eko selain anak lurah. Mata Adriani membulat. Eko itukah? Duda tanpa anak yang ditinggal pergi istrinya. Tega sekali kalau sampai ibu menjodohkannya dengan lelaki itu.

Gosip yang beredar mengabarkan hal yang tidak seharusnya dibahas. Adriani sangat menghindari membicarakan orang. Tidak mau karena dirinya juga tak suka dibicarakan di belakang.

💞💞💞

Syukurlah ....
Akhirnya bisa up malam ini dengan sisa-sisa tenaga dan waktu.

Ingatkan jika ada yang salah.

12 Juni 2019

Jangan Dekat-dekat!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang